BERITA PAJAK HARI INI

Mulai 23 Agustus 2020, Ini Aturan PPN Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Redaksi DDTCNews
Rabu, 29 Juli 2020 | 08.00 WIB
Mulai 23 Agustus 2020, Ini Aturan PPN Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Ilustrasi. Umat Muslim melaksanakan salat Jumat di Masjid Nabawi dengan tetap menerapkan jarak sosial, ditengah wabah penyakit virus corona (Covid-19), di Madinah, Arab Saudi, Jumat (5/6/2020). ANTARA FOTO/Saudi Press Agency/Handout via REUTERS/pras/djo

JAKARTA, DDTCNews – Terbitnya PMK 92/2020 terkait dengan kriteria dan/atau rincian jasa keagamaan yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi salah satu bahasan media nasioanal pada hari ini, Rabu (29/7/2020).

Beleid yang berlaku mulai 23 Agustus 2020 ini, menurut Ditjen Pajak (DJP), akan memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan PPN atas jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang diserahkan oleh biro perjalanan wisata.

“Dan tentunya mendukung keberlanjutan bisnis usaha biro perjalanan wisata pada umumnya dan penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah khususnya,” demikian pernyataan DJP dalam laman resminya. Simak pula artikel ‘DJP Paparkan 4 Latar Belakang Munculnya PMK 92/2020, Apa Itu?’.

Sesuai ketentuan dalam PMK itu, jenis jasa yang tidak dikenai PPN meliputi jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah atau dakwah, jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan, dan jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan baik oleh pemerintah maupun oleh biro perjalanan wisata.

Selain mengenai PMK 92/2020, ada pula bahasan mengenai implementasi nasional e-Bupot 23/26 untuk seluruh pengusaha kena pajak (PKP) mulai 1 Agustus 2020. Pemberlakuan secara nasional ini dilakukan setelah otoritas mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-269/PJ/2020.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Biro Jasa Perjalanan

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan PMK 92/2020 menjadi penegasan tentang jasa di bidang keagamaan yang dalam Pasal 4A UU PPN termasuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN.

“Biro jasa perjalanan bisa langsung tak mengenakan PPN atas penyerahan jasa perjalanan keagamaan,” ujarnya. Simak pula artikel ‘Ini 7 Pokok Kebijakan dalam PMK Baru Soal PPN Jasa Keagamaan’. (Kontan/DDTCNews)

  • Tidak Berpengaruh Signifikan pada Penerimaan

Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat terbitnya PMK 92/2020 akan membantu bisnis bidang jasa penyelenggaraan ibadah haji, umrah, dan perjalanan ibadah serta wisata keagamaan lainnya. Simak artikel ‘Bagaimana Perlakuan PPN Paket Umrah Plus Wisata? Simak di Sini’.

Adanya kebijakan ini juga dinilai tidak terlalu berpengaruh pada penerimaan pajak. Namun, tahun ini, penerimaan PPN akan mengalami penurunan karena pelemahan aktivitas ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. (Kontan)

  • Kriteria WP Wajib e-Bupot

Kriteria wajib pajak yang wajib menggunakan e-Bupot mulai 1 Agustus 2020 adalah pertama, seluruh PKP yang terdaftar di KPP Pratama seluruh Indonesia. Kedua, PKP itu memiliki pemotongan PPh Pasal 23/26 lebih dari 20 bukti pemotongan dalam satu masa pajak.

Ketiga, PKP itu menerbitkan bukti pemotongan dengan jumlah penghasilan bruto lebih dari Rp100 juta dalam satu bukti potong. Keempat, PKP itu sudah pernah menyampaikan SPT masa secara elektronik. Simak artikel ‘1 Agustus 2020, Implementasi Nasional e-Bupot 23/26 Seluruh PKP’. (DDTCNews)

  • Bantuan, Sumbangan, dan Harta Hibahan

Berdasarkan PMK 90/2020, DJP mengatakan penghasilan dari bantuan, sumbangan, atau harta hibahan (bagi wajib pajak penerima) maupun keuntungan akibat pengalihan harta melalui bantuan, sumbangan, atau hibah (bagi wajib pajak pemberi) dikecualikan sebagai objek PPh

Pengecualian itu bisa dilakukan sepanjang bantuan, sumbangan, atau harta hibahan dilakukan antara pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan.

Syarat lain pengecualian sebagai objek PPh adalah pihak penerima harus merupakan orang tua kandung atau anak kandung, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.

“Bagi pihak pemberi, segala bentuk bantuan, sumbangan, dan hibah dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak,” demikian pernyataan DJP. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)

  • Redesain Insentif Perpajakan

Pemerintah tengah meninjau kembali kebijakan pemberian insentif perpajakan yang diberikan kepada wajib pajak (WP) terdampak pandemi Covid-19. Ruang perubahan sejumlah insentif perpajakan menjadi bantuan langsung tunai juga dibuka.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan perubahan format insentif dilakukan karena pelaksananya selama ini belum cukup optimal. Dengan demikian ada kemungkinan redesain kebijakan agar pelaksanannya efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi. (Bisnis Indonesia)

  • Pelebaran Defisit

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Presiden Jokowi telah memutuskan untuk melebarkan defisit pada RAPBN 2021 menjadi 5,2% terhadap produk domestik bruto (PDB), dari sebelumnya yang telah disepakati pemerintah dan DPR RI sebesar 3,21% hingga 4,17% terhadap PDB.

Menurutnya tambahan pembiayaan dari pelebaran defisit tersebut juga akan digunakan untuk belanja-belanja prioritas yang telah ditetapkan. Simak artikel ‘Jokowi Lebarkan Defisit Anggaran RAPBN 2021 Jadi 5,2%’. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Monic Provi Dewinta
baru saja
Terbitnya PMK 92/2020 mengakibatkan adanya konsekuensi publik yang mana memerlukan kepastian hukum yang jelas, logis, dan tidak menimbulkan multitafsir. Sehingga, dengan diaturnya pokok-pokok PMK ini menjadi lebih komprehensif dan matang, diharapkan dapat merealisasikan tujuan diterbitkannya PMK tersebut. Khususnya, dalam hal untuk menstimulus keberlangsungan bisnis usaha biro penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang saat ini sedang mengalami penurunan produktivitas akibat Pandemi Covid-19.