Karyawan mengamati layar yang menampilkan informasi pergerakan harga saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (26/6/2020). Pemerintah memerinci kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan yang diamanatkan oleh UU No. 2/2020 melalui PP No. 33/2020. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/pras)
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memerinci kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 2/2020 melalui PP No. 33/2020.
Sesuai dengan UU No. 2/2020, LPS diberi kewenangan untuk melakukan persiapan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk penanganan masalah solvabilitas bank dan melakukan penjualan/repo surat berharga negara (SBN) kepada Bank Indonesia (BI).
Kemudian menerbitkan surat utang, dan menarik pinjaman dari pihak lain atau pemerintah bila likuiditas LPS diperkirakan mengalami kesulitan untuk menangani bank gagal, dan mengambil keputusan melakukan atau tidak melakukan penyelamatan nonsistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal
"Untuk melaksanakan Pasal 20 ayat 2 UU No. 2/2020 ..., perlu menetapkan PP Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan," tulis pertimbangan PP No. 33/2020, seperti dikutip Jumat (10/7/2020).
Dalam melakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan penanganan permasalahan bank baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik, PP No. 33/2020 mengatur persiapan penanganan ketika bank ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan intensif oleh OJK.
Pada saat melakukan persiapan untuk menangani bank tersebut, LPS perlu berkoordinasi dengan OJK untuk melakukan pertukaran data bank, melakukan pemeriksaan bersama atas bank, atau kegiatan lainnya dalam rangka persiapan resolusi oleh LPS.
Pemeriksaan bersama OJK dan LPS atas bank paling sedikit meliputi pemetaan dan penilaian aset serta kewajiban bank, persiapan preservasi data, dan pemeriksaan risiko hukum.
"Pengurus dan pegawai bank harus mendukung kegiatan pemeriksaan bersama dengan memberikan data dan/atau informasi yang dibutuhkan oleh LPS dan OJK," demikian bunyi Pasal 5 PP No. 33/2020.
Selain meminta informasi dan memeriksa, LPS juga dapat melakukan kegiatan lain untuk persiapan penanganan bank. Kegiatan di sini termasuk persiapan identifikasi pengelompokan aset dan/atau kewajiban bank yang akan dialihkan serta mengajukan izin prinsip pendirian bank perantara.
Jika 1 tahun sejak ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan intensif ternyata permasalahan solvabilitas bank itubelum teratasi, LPS melakukan penjajakan dengan bank lain yang mau menerima pengalihan atau seluruh aset dan kewajiban bank setelah dikoordinasikan bersama dengan OJK.
Selain menetapkan status bank sebagai bank dalam pengawasan intensif, OJK dapat meningkatkan status bank sebagai bank dalam pengawasan khusus. Saat itu, LPS melakukan kegiatan peningkatan intensitas persiapan penanganan bank.
Dalam kegiatan peningkatan intensitas ini, LPS melakukan kegiatan pemutakhiran hasil pemeriksaan bersama yang telah dilakukan pada tahap persiapan penanganan.
LPS juga dapat melakukan penjajakan kepada calon bank penerima pengalihan aset dan/atau kewajiban bank, melakukan penjajakan kepada pemegang saham yang berpotensi ikut melakukan penyetoran modal untuk bank sistem, atau melakukan pengajuan izin usaha bank perantara.
LPS juga berkoordinasi dengan OJK meminta pengurus bank menjaga kondisi keuangan bank untuk mencegah terjadinya penurunan aset dan peningkatan kewajiban, mendukung pelaksanaan pengalihan aset dan kewajiban, serta memfasilitasi LPS memasarkan aset dan kewajiban bank.
Lebih lanjut, OJK juga dapat meminta pengurus bank untuk menyerahkan pernyataan rapat umum pemegang saham (RUPS) yang berlaku efektif bila bank ditetapkan sebagai bank gagal oleh LPS. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.