Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Meresons adanya pandemic COVID-19, pemerintah memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Perpanjangan waktu ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2020. Perpanjangan waktu ini terkait dengan pengajuan keberatan wajib pajak dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
“Untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan akibat adanya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan,” demikian penggalan bunyi pasal 8 Perpu itu.
Adapun ketentuan perpanjangan waktu itu adalah pertama, atas pengajuan keberatan wajib pajak yang jatuh tempo pengajuan keberatan dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP berakhir dalam periode keadaan kahar akibat pandemi COVID-19. Jatuh tempo pengajuan keberatan tersebut diperpanjang paling lama 6 bulan.
Dalam Pasal 25 ayat (3) UU KUP, pengajuan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau tanggal pemotongan atau pemungutan pajak. Dengan adanya perpanjangan, masa pengajuan keberatan menjadi 9 bulan.
Kedua, atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak seperti ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU KUP yang jatuh tempo pengembalian berakhir dalam periode keadaan kahar akibat pandemi COVID-19, jatuh tempo pengembalian tersebut diperpanjang paling lama sebulan.
Dalam Pasal 11 ayat (2) UU KUP, pengembalian kelebihan pembayaran pajak maksimal sebulan karena lebih dari itu, wajib pajak mendapat imbalan bunga 2% per bulan. Dengan adanya perpanjangan waktu, jatuh tempo menjadi 2 bulan.
Ketiga, atas pelaksanaan hak wajib pajak yang jatuh tempo penerbitan surat ketetapan atau surat keputusan berakhir dalam periode keadaan kahar akibat pandemi COVID-19, jatuh tempo penerbitan surat ketetapan atau surat keputusan tersebut diperpanjang paling lama 6 bulan.
Pelaksanaan hak wajib pajak itu meliputi permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui pemeriksaan (dari 12 bulan menjadi 18 bulan). Selain itu, ada pengajuan surat keberatan (dari 12 bulan menjadi 18 bulan).
Kemudian, ada permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, dan pembatalan hasil pemeriksaan (dari 6 bulan menjadi 12 bulan).
“Penetapan periode waktu keadaan kahar akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) … mengacu kepada penetapan pemerintah melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,” demikian bunyi penggalan pasal 8 huruf d Perpu tersebut.
Seperti diketahui, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan ini menjadi salah satu dari 4 kebijakan di bidang perpajakan dalam Perpu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Simak artikel ‘Ini 4 Kebijakan Perpajakan dalam Perpu 1/2020’.
Sejumlah kebijakan pajak dalam Perpu ini terlihat menitikberatkan pada fungsi regulerend daripada budgeter. Tidak mengherankan jika pendapatan negara pada tahun ini diproyeksi turun hingga 10% dibandingkan tahun lalu. Simak artikel ‘Sri Mulyani: Pendapatan Negara Tahun Ini Diproyeksi Turun 10%’ dan Simak Perspektif ‘Pajak Hadir Lawan Dampak Korona’.
Dalam analisis DDTC Fiscal Research sebelumnya, respons dari sisi kebijakan pajak yang dilakukan pemerintah Indonesia sudah sejalan dengan arah global. Pasalnya, ada 112 yurisdiksi telah (atau berencana) menggunakan instrumen pajak. Simak artikel ‘Ternyata, Respons Pajak Indonesia Hadapi COVID-19 Sesuai Tren Global’. (kaw)