Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah akan menggunakan data kepatuhan pelaporan devisa hasil ekspor (DHE) sebagai salah satu acuan dalam pemberian fasilitas restitusi dipercepat. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (30/12/2019).
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengungkapkan eksportir yang patuh dalam hal penyampaian laporan DHE akan mendapat profil yang lebih baik di mata otoritas. Profil tersebut akan menjadi pertimbangan dalam pemberian restitusi dipercepat.
“Untuk mendapatkan restitusi, wajib pajak harus memenuhi beberapa kriteria. Kami akan menjadikan data DHE sebagai referensi dalam rangka memberi pelayanan restitusi yang dipercepat,” tutur Heru.
Seperti diketahui, selama ini, fasilitas restitusi dipercepat diberikan untuk tiga klasifikasi wajib pajak. Pertama, wajib pajak kriteria tertentu (wajib pajak patuh). Kedua, wajib pajak persyaratan tertentu. Ketiga, pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah. Baca selengkapnya di sini.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti kinerja penerimaan pajak menjelang akhir tahun yang masih loyo. Berdasarkan pemberitaan Kontan, realisasi penerimaan pajak per 26 Desember 2019 baru mencapai sekitar 80,29% dari target Rp1.577,56 triliun.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan selain restitusi dipercepat, eksportir yang patuh dalam pelaporan DHE juga akan diprioritaskan dalam memperoleh fasilitas lain, seperti kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), kawasan berikat (KB), dan authorized economic operator (AEO).
Bagi importir yang patuh dan kooperatif menyampaikan devisa pembayaran impor (DPI) juga akan mendapatkan insentif, seperti menjadi importir jalur prioritas, mitra utama (MITA), dan AEO. Namun, bagi perusahaan yang tidak patuh akan dikenai sanksi administrasi hingga pemblokiran.
Untuk meningkatkan kepatuhan dalam pelaporan DHE dan mengendalikan defisit transaksi berjalan, pemerintah akan mengimplementasikan Sistem Informasi Monitoring Devisa terintegrasi Seketika (SiMoDIS) per 1 Januari 2020.
SiMoDIS akan memberikan informasi lengkap tentang nilai ekspor dan nilai impor yang sesungguhnya berdasarkan nilai DHE dan DPI. Hasil rekonsiliasi data inilah yang pada gilirannya akan digunakan sebagai salah satu indikator untuk penyusunan profiling kepatuhan pengusaha.
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan realisasi restitusi dipercepat hingga akhir November tercatat senilai Rp31 triliun. Angka itu masih lebih sedikit dibandingkan dengan restitusi yang diberikan setelah adanya pemeriksaan, yaitu senilai Rp85 triliun. Restitusi akibat putusan pengadilan pajak senilai Rp23 triliun.
Dengan realisasi penerimaan hingga 26 Desember 2019 hanya mencapai 80,29%, Ditjen Pajak (DJP) masih harus mengumpulkan sekitar Rp310,94 triliun dalam dua hari ini agar memenuhi target APBN. Jika shortfall sesuai prognosis pemerintah Rp140 triliun, pemerintah masih harus mengumpulkan Rp170,88 triliun. Hal ini dinilai berat sehingga risiko pelebaran shortfall tidak terhindarkan.
Managing Partner DDTC Darussalam memproyeksi shortfall penerimaan pajak tahun ini bisa mencapai Rp259 triliun (skenario terburuk). Selain efek lesunya perekonomian global, tidak adanya terobosan dalam penggalian potensi pajak selama semester I/2019 membuat kinerja penerimaan pajak loyo.
Berdasarkan International Business Report (IBR) semester II/2019 yang dirilis oleh Grant Thornton Indonesia, ekspektasi keuntungan usaha di Indonesia mencapai 84%, jauh lebih tinggi dibandinhkan periode sebelumnya 70%.
Angka tersebut sekaligus mencatatkan rekor tertinggi dari IBR sebelumnya. Selain itu, capaian tersebut juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Asean dan Asia Pasifik, yang masing-masing tercatat sebesar 69% dan 54%. (kaw)