PILPRES 2019

Mendengar Suara Wajib Pajak

Redaksi DDTCNews
Minggu, 23 Desember 2018 | 09.12 WIB
ddtc-loaderMendengar Suara Wajib Pajak
Managing Partner DDTC

BAGI negara yang sekitar 75% dana pembangunannya berasal dari pajak, tentu cukup mengherankan jika pajak tidak pernah ditonjolkan sebagai agenda kampanye politik calon pemimpin nasional Indonesia. Hampir di setiap pemilihan presiden (pilpres), calon pemimpin nasional lebih banyak mengajukan ide mengenai pembangunan dan tidak menyertakan bagaimana cara mendanainya.

Padahal pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara, mendorong alokasi sumber daya yang efisien, dan proses redistribusi pendapatan. Lebih penting lagi, pajak berperan penting dalam proses pembangunan bangsa atau state building (Brautigam, 2008). Peran pajak dalam state building dapat dilihat dari dua area mendasar. Pertama, meningkatnya kontrak sosial yang didorong oleh daya tawar atas pemajakan yang kemudian dapat mempercepat demokrasi representatif. Kedua, perhatian atas penerimaan akan menstimulasi adanya kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga pada akhirnya akan memperkuat kapasitas negara.

Kontribusi pajak dalam keuangan negara juga memberikan pemahaman tentang proses menuju fiscal state (negara-fiskal) yang diajukan oleh Ormrod dan Bonney (1999). Fiscal state tidak hanya mengacu pada kondisi di mana sistem pajak menjadi bagian tidak terpisahkan dari situasi ekonomi atau diterjemahkan semata-mata atas kekuasaan dalam mengambil hak privat warganya, tetapi juga menjadi sarana partisipasi publik (Waris, 2013).

Dengan kata lain, pertanyaan mengenai perlu atau tidaknya upaya membenahi sektor pajak sudah tidak perlu diperdebatkan. Lantas, sejauh mana platform politik pajak perlu dipertimbangkan oleh kandidat calon presiden di Indonesia? Apa arah politik pajak yang ideal bagi Indonesia untuk lima tahun ke depan (2019-2024)?

Platform Pajak

Platform pajak bisa menjadi daya tarik dan menentukan jumlah perolehan dukungan, terlebih jika mempertimbangkan bahwa faktor ideologi semakin kurang relevan dalam masyarakat yang terdidik. Singkatnya, visi-misi serta program calon pemimpin nasional semakin menentukan (Persson dan Tabellini, 2000). Studi kasus terkini mengenai platform pajak pada saat pilpres menarik untuk dicermati.

Kampanye mengenai sistem pajak yang relevan dengan kebutuhan masyarakat kebanyakan dan dikemas dalam konteks nasionalisme bisa dilihat dari kasus pilpres Amerika Serikat di penghujung 2016. Jargon ‘make America great again’ yang diajukan Donald Trump dan diterjemahkan dalam berbagai usulan pemotongan pajak terbukti berhasil menarik suara.

Kampanye pajak dalam kepemimpinan nasional juga erat kaitannya dengan upaya menciptakan keseimbangan kepentingan. Ini bisa dilihat dari perdebatan soal reformasi pajak pada pilpres Brazil di Oktober 2018 lalu antara Jair Bolsonaro dan Fenando Haddad. Agenda pajak yang diusung keduanya pun sangat beragam, mulai dari posisi mengenai tarif PPh Orang Pribadi, pemberlakuan territorial tax system, simplifikasi pajak tidak langsung, pemberian vs. pembatasan insentif pajak, skema penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan sebagainya.

Sebagai catatan, walau keduanya sepakat untuk mengatasi ketimpangan melalui pengenaan pajak dividen yang notabene menyasar para pemilik modal, Bolsonaro -presiden terpilih- menambahkan berbagai agenda yang bertujuan untuk menjaga daya saing dan mendorong perekonomian Brazil seperti pemotongan tarif PPh Badan.

Selanjutnya, strategi ‘menjual’ platform pajak dalam pilpres bisa dikaitkan dengan keluhan masyarakat akibat program petahana atau kelompok politik yang berkuasa. Sebagai contoh, pemilu di Malaysia 2018 yang dimenangkan oleh Mahathir. PPN yang baru diterapkan oleh Najib (petahana) sejak April 2015 ‘dibingkai’ (framing) oleh kubu Mahathir sebagai penyebab semakin tingginya biaya hidup rakyat Malaysia.

Padahal, penerapan PPN justru dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi defisit anggaran dan utang yang semakin meningkat serta berkontribusi secara positif bagi penerimaan negara (sekitar 23%). Mahathir kemudian justru menyatakan akan mencabut PPN dan mendorong Malaysia untuk kembali mengandalkan pajak dari sektor korporasi, pajak petroleum, dan pajak penjualan.

Terakhir, kampanye soal pajak dalam pemilu juga terkait dengan rasionalitas kebijakan dan dukungan politik. Selama lima tahun terakhir, tarik-ulur mengenai kenaikan tarif pajak konsumsi di Jepang (serupa dengan PPN) kerap menjadi perdebatan. Di satu sisi fenomena populasi yang menua telah membuat turunnya basis PPh Orang Pribadi di Jepang sehingga pajak konsumsi diharapkan mengatasi defisit dan utang yang menumpuk.

Di sisi lain, kenaikan tarif bisa berdampak bagi konsumsi rumah tangga dan daya dukung ekonomi. Pada pemilu perdana menteri di 2017, Shinzo Abe yang didukung oleh 2/3 parlemen dan turut mengagendakan kenaikan tarif pajak konsumsi sebesar 10% di 2019, keluar sebagai pemenang.

Agenda Politik Pajak Indonesia

Pada kasus pilpres 2019, publik dihadapkan oleh dua calon pemimpin nasional: Jokowi-Ma’ruf sebagai pasangan calon (paslon) nomor 01 dan Prabowo-Sandi sebagai paslon nomor 02. Dari dokumen resmi mengenai visi-misi dan program kerja kandidat pemimpin nasional sebagaimana bisa dilihat di KPU, paslon nomor 01 berkomitmen untuk melanjutkan reformasi fiskal yang berkesinambungan.

Di sisi lain, paslon nomor 02 menyatakan tiga program  kerja di bidangpajak: menurunkan tarif PPh Pasal 21, menghapus PBB untuk rumah pertama, serta menaikkan nilai PTKP. Sayangnya, narasi dan pemaparan mengenai platform pajak masing-masing calon masih sangat terbatas. Dengan demikian, evaluasi mengenai platform pajak tiap kandidat sulit untuk dielaborasi lebih jauh.

Ada hal yang lebih penting dan substansial dari sekedar membandingkan platform pajak keduanya, yaitu bagaimana mengaitkan relevansi antara desain sistem pajak yang diusulkan, kebutuhan masyarakat, target pembangunan ke depan, serta menjamin dukungan publik di masa mendatang untuk meningkatkan penerimaan dalam kontrak fiskal yang ideal. Ini tentu bukan soal yang mudah, namun untuk menjawab hal tersebut arah politik pajak 2019-2024 haruslah berbasis pada paradigma, yaitu mendengar suara wajib pajak dan memperkuat partisipasi pemangku kepentingan.

Setidaknya terdapat empat alasan mengapa paradigma tersebut harus jadi acuan. Pertama, fragmentasi politik. Pasca Orde Baru, konsolidasi politik semakin sulit terwujud dan kesepahaman antar berbagai kekuatan politik dalam memandang suatu kebijakan semakin divergen. Pembuatan kebijakan menjadi terhambat, kurang obyektif, dan sarat kepentingan (Sachs dan Roubini, 1989). Pembahasan undang-undang tentang amnesti pajak dan akses informasi keuangan bisa menjadi contoh. Oleh karena itu, fenomena fragmentasi politik di Indonesia mengharuskan adanya suatu kesepahaman antar kelompok kepentingan dan politik.

Kedua, mengurangi transaction cost. Menurut Levi (1989), politik ekonomi perpajakan akan sangat tergantung dari besarnya biaya transaksi, yaitu seluruh biaya yang timbul dari upaya untuk memobilisasi penerimaan. Semakin tinggi derajat kepatuhan sukarela (voluntary compliancewajib pajak akan menyebabkan rendahnya biaya transaksi pemungutan pajak. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki strategi meningkatkan kepatuhan sukarela, terutama melalui upaya menciptakantrust kepada pemerintah.

Ketiga, menjamin akseptabilitas dan stabilitas. Dukungan publik sangat dibutuhkan dalam menjamin efektivitas sistem pajak serta menyempurnakan hal-hal yang menjadi tujuan pemerintah. Tanpa suatu mekanisme yang bersifat partisipatif, implementasi sistem pajak justru dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan publik maupun menciptakan social unrest. Kerusuhan di Prancis mengenai penolakan kenaikan pajak bahan bakar yang diusulkan Presiden Macron bisa jadi contoh.

Keempat, pada sistem demokrasi kekuasaan negara dalam mengenakan pajak dibatasi. Adanya doktrin separation of powersdan mekanisme check and balance mengharuskan pemungutan pajak yang dibatasi oleh undang-undang. Undang-undang sendiri merupakan hasil pembahasan antara pemerintah dengan perwakilan rakyat yang tercermin dalam parlemen. Singkatnya, no taxation without representation.

Keinginan untuk mendengar suara wajib pajak dan memperkuat partisipasi pemangku kepentingan membuat sistem pajak semakin demokratis karena semakin banyaknya kepentingan yang dapat dipertimbangkan dan diakomodasi. Selain untuk menjamin legitimasi pemerintah dan hubungan kontrak fiskal yang ideal, ‘kemauan untuk mendengar’ tersebut menjaga kestabilan sistem pajak. Ini juga selaras dengan gagasan Tanzi mengenai ekologi sistem pajak (2018), di mana pemerintah harus mampu mengidentifikasi berbagai fenomena yang akan berpengaruh pada permintaan-penawaran sistem pajak yang lebih baik.

Sebagai penutup, menarik untuk mengutip Guy Peters (1991) yang menyatakan bahwa: “..dari sekian banyak faktor, pada akhirnya pertimbangan politiklah yang akan menentukan pilihan (sistem) kebijakan pajak.” Dalam hal inilah calon pemimpin nasional 2019- 2024 menjadi tokoh sentral.

Simak tulisan Darussalam selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.