Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak (BKP/JKP) nonmewah masih memiliki kesempatan untuk membuat faktur pajak dengan tarif PPN 11% hingga 31 Maret 2025. Topik ini menjadi salah satu bahasan utama media nasional pada hari ini, Kamis (9/1/2025).
Bersamaan dengan itu, tarif PPN 11% bisa menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa harga jual penuh, bukan DPP nilai lain dengan besaran 11/12. Kelonggaran ini diberikan pemerintah selama masa transisi pemberlakuan PMK 131/2024 selama 3 bulan, yakni sejak 1 Januari 2025 hingga 31 Maret 2025.
"... dianggap telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sepanjang faktur pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak telah mencantumkan keterangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan," bunyi penggalan Pasal 4 ayat (1) PER-1/PJ/2025.
PKP tidak perlu bingung lantaran kebijakan ini memang diberikan sebagai masa transisi ketentuan dalam PMK 131/2025. Pada intinya, tarif efektif yang diterapkan sama-sama 11% (tarif 11% dikalikan dengan harga jual, atau tarif 12% dikalikan dengan DPP nilai lain 11/12 dari harga jual).
Meski tarif PPN yang digunakan bukanlah 12% dan DPP yang dicantumkan bukan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, faktur dianggap sudah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas sepanjang keterangan lainnya sudah dicantumkan.
Keterangan-keterangan yang harus dicantumkan dalam faktur pajak antara lain nama, alamat, dan NPWP penjual; nama, alamat, dan NPWP pembeli; serta jenis BKP/JKP yang dilakukan penyerahan.
Selanjutnya, harga BKP/JKP yang dilakukan penyerahan; potongan harga; PPN yang dipungut; PPnBM yang dipungut; kode dan nomor seri faktur pajak; tanggal pembuatan faktur pajak; serta nama dan tanda tangan pihak yang berhak menandatangani faktur pajak.
Faktur pajak bisa dibuat tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sepanjang penyerahan BKP/JKP dilakukan oleh PKP pedagang eceran kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir.
Mulai 1 April 2025, tarif PPN yang tertera dalam faktur pajak harus 12% sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN. Sementara itu, DPP yang digunakan adalah DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian sesuai Pasal 3 PMK 131/2024.
Selain kabar mengenai ketentuan PPN 11% dalam faktur pajak, ada ulasan lain yang menjadi headline media nasional pada hari ini. Antara lain, pernyataan dirjen pajak mengenai DPP nilai lain, rencana pembentukan komite khusus tentang transformasi digital oleh Presiden Prabowo, hingga jaminan DJP mengenai tidak ada sanksi akibat kendala teknis coretax.
Pemerintah sedang meninjau kembali perlakuan PPN untuk barang dan jasa yang selama ini menggunakan skema DPP nilai lain atau besaran tertentu sesuai dengan PMK tersendiri selain PMK 131/2024.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan langkah tersebut dilakukan untuk kembali memastikan bahwa selain barang mewah (yang dikenai PPnBM), PPN yang diterapkan tidak berubah dari ketentuan sebelumnya.
“Ini kembali ke rumus yang pertama tadi, sepanjang dia tidak dalam kategori sebagai barang mewah yang harus naik tarif pajaknya [menjadi 12%], PPN-nya dia akan mendapatkan treatment yang sama,” ujar Suryo dalam konferensi pers APBN Kita. (DDTCNews)
Presiden Prabowo Subianto menyetujui untuk segera membentuk Komite Percepatan Transformasi Digital. Tujuannya, mengoptimalkan penerimaan pajak.
Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu mengatakan pembentukan Komite Percepatan Transformasi Digital menjadi bagian dari upaya pemerintah menindaklanjuti data World Bank mengenai tingginya tax gap di Indonesia.
"Tadi yang kita tegaskan adalah pentingnya untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak dengan perbaikan administrasi dan juga mengurangi penghindaran pajak," katanya. (DDTCNews)
Implementasi coretax administration system (CTAS) mulai 1 Januari 2025 telah ditegaskan dalam sebuah keputusan yang ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 30 Desember 2024. Keputusan yang dimaksud adalah KMK 456/2024.
KMK 456/2024 memuat 5 diktum. Pertama, masa implementasi coretax yang dimulai sejak 1 Januari 2025. Kedua, coretax DJP dikelola oleh DJP Kementerian Keuangan. Ketiga, DJP dan instansi/lembaga wajib menjaga keamanan informasi dan bertanggung jawab atas pemenuhan standar keamanan dalam penggunaan coretax DJP.
Keempat, apabila terjadi insiden keamanan informasi yang melibatkan instansi/lembaga masing-masing pihak bertanggung jawab. Kelima, keputusan menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yakni 30 Desember 2024. (DDTCNews)
DJP memastikan tidak ada pengenaan sanksi yang dikenakan terhadap wajib pajak pada masa transisi dari DJP Online ke coretax administration system.
Jika ada keterlambatan penerbitan faktur ataupun pelaporan SPT akibat kendala pada coretax, DJP akan menyiapkan kebijakan agar tidak ada beban tambahan bagi masyarakat.
"Mengenai kekhawatiran pengenaan sanksi, masa transisi juga kami terapkan. Jadi masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir apabila dalam implementasi ini mungkin ada keterlambatan penerbitan faktur atau barangkali pelaporan, nanti kita pikirkan supaya tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru," ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo. (DDTCNews)
Pemerintah ingin menahan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) agar terparkir lebih lama di dalam negeri, yakni 1 tahun. Ketentuan ini lebih dari dari holding period yang berlaku saat ini, yakni minimal 3 bulan.
Kebijakan ini diambil untuk mengerek cadangan devisa Indonesia agar lebih tinggi.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan pemerintah masih menyusun insentif bunga yang akan diberikan. Dirinya menjamin fasilitas yang diberikan Indonesia bisa bersaing dengan Singapura. (Kontan)