Laporan World Bank yang menunjukkan tren compliance gap di Indonesia.
JAKARTA, DDTCNews - World Bank mengungkap rendahnya penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh compliance gap, bukan policy gap. Secara sederhana, policy gap adalah jumlah pajak yang tidak dapat dikumpulkan akibat keputusan pemerintah untuk tidak memajaki basis pajak tersebut, sedangkan compliance gap lebih disebabkan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak.
Dalam laporan World Bank bertajuk Indonesia Economic Prospects December 2024: Funding Indonesia's Vision 2045, policy gap PPN tercatat hanya sebesar 0,9% dari PDB, sedangkan compliance gap PPN tercatat mencapai 2,6% dari PDB.
"Antara 2016 hingga 2021, rata-rata compliance gap PPN Indonesia tercatat mencapai 43,9% dari potensi atau 2,6% dari PDB. Pada 2020, compliance gap PPN mencapai puncaknya di angka 50,7% akibat pandemi dan penangguhan pembayaran PPN," tulis World Bank dalam laporannya, dikutip Selasa (17/12/2024).
Compliance gap PPN Indonesia tercatat relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain, utamanya bila dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah lainnya.
Sebagai perbandingan, Thailand mampu mengumpulkan PPN sebesar 4,7% dari PDB, lebih tinggi dari penerimaan PPN Indonesia yang sebesar 2,3% dari PDB.
Thailand mampu mencapai rasio PPN tersebut meski menerapkan tarif PPN hanya sebesar 7% dengan cakupan fasilitas PPN yang kurang lebih sama dengan Indonesia. "Hal ini mengindikasikan tingginya revenue forgone akibat ketidakpatuhan PPN di Indonesia," tulis World Bank.
Untuk menekan compliance gap, Indonesia telah mewajibkan pengusaha kena pajak (PKP) untuk menggunakan e-faktur sejak 1 Juli 2016. Namun, langkah tersebut dipandang masih belum cukup untuk menekan ketidakpatuhan.
"Upaya tambahan untuk meningkatkan tax enforcement dan tax morale masih diperlukan dalam rangka mengurangi praktik pengelakan pajak," tulis World Bank.
World Bank mencatat Georgia dan Kamboja berhasil menekan compliance gap dan meningkatkan penerimaan secara signifikan melalui simplifikasi ketentuan pajak, reformasi SDM dan organisasi, serta mengembangkan sistem IT untuk meningkatkan efisiensi dan menekan praktik korupsi.
Berkat langkah-langkah di atas, Georgia berhasil meningkatkan penerimaan pajak dari 7% PDB pada 2003 menjadi 24% PDB pada 2011. Adapun Kamboja berhasil meningkatkan penerimaan pajak dari 15,2% PDB pada 2014 menjadi 17,2% PDB pada 2017. (sap)