Ilustrasi DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak berencana menambah jumlah kantor pelayanan pajak (KPP) madya. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (10/12/2019).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan penambahan KPP madya ini mulai dijalankan pada 2020. Dengan langkah ini, dimungkinkan untuk satu kantor wilayah (kanwil) memiliki dua KPP madya. Langkah ini berkaitan dengan penciptaan proses bisnis yang makin efisien.
“Pak Presiden Jokowi bilang organisasi itu harus efisien. Makanya, pada 2020, kita sudah mulai menyusun skenario untuk membuat [KPP] madya-madya baru. Jadi, kita akan reshaping organisasi,” ujarnya.
Pembentukan KPP madya diperkirakan akan membuat pengawasan lebih intensif karena jumlah wajib pajaknya tidak terlalu banyak. Suryo mengestimasi penambahan KPP madya ini setidaknya akan memudahkan pengawasan sebesar 80% dari total penerimaan pajak.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti rencana pemerintah merelaksasi denda cukai yang berlaku sekarang. Langkah ini dilakukan untuk untuk menyamakan dari sisi dena agar bisa setara dan konsisten antara denda pajak dan bea cukai. Rencana ini akan masuk dalam omnibus law perpajakan.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan dengan adanya penambahan KPP madya, otoritas akan membuat KPP pratama lebih fokus pada pengawasan atau ekstensifikasi berbasis kewilayahan. Dengan demikian, ada peluang untuk memperluas basis pajak.
“Kita enggak menyisir total tapi pakai prioritas dengan informasi yang sudah ada. Resource [KPP] pratama ini kita gerakkan ke situ,” katanya.
Menurutnya, ruang gerak yang dimiliki DJP untuk meningkatkan penerimaan masih sangat besar. Hal ini terutama dengan fakta masih sedikitnya jumlah wajib pajak orang pribadi nonkaryawan yang terdaftar dalam sistem.
Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Deni Surjantoro mengatakan pengenaan tarif denda cukai atas pelanggaran administratif akan lebih sederhana. Otoritas akan menyeragamkan batas tarif denda atas seluruh rumpun perpajakan.
Dengan demikian, denda administrasi cukai maksimal hanya empat kali lipat dari jumlah denda yang tertuang. Sanksi ini lebih longgar dari yang berlaku saat ini 10 kali lipat.
Senior Manager of International Tax / Tax Compliance & Litigation Services DDTC Ganda Christian Tobing mengatakan upaya mereplikasi keberhasilan reformasi pajak 1983 harus disesuaikan dengan situasi terkini. Hal ini mencakup lima area.
Pertama, sama halnya dengan reformasi pajak 1983, reformasi pajak 2017-2020 harus bersifat multi-purpose dalam kerangka yang harmonis. Kedua, antisipatif. Pemerintah harus mengantisipasi model bisnis yang berubah, sengketa pajak yang meningkat, perubahan aturan main pajak internasional, pergeseran paradigma dalam memajaki korporasi, ketimpangan kekayaan, dan sebagainya.
Ketiga, agar pajak tidak dipandang sebagai kewajiban semata, reformasi pajak dapat menjadi momentum untuk menjamin perlindungan hak-hak wajib pajak yang berfungsi sebagai landasan bagi administrasi pajak yang efektif. Paradigma hubungan yang bersifat kolaboratif antara otoritas dengan wajib pajak harus dikedepankan.
Keempat, reformasi pajak 2017-2020 harus memperbarui dan tidak hanya merevisi UU di bidang pajak. Kelima, sistem demokrasi mengharuskan proses legislatif yang partisipatif dan transparan untuk meningkatkan kepercayaan publik. (kaw)