Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Aksi unilateral terkait pemajakan ekonomi digital kian marak. Hal ini berisiko memunculkan perang dagang dan sengketa. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (9/12/2019).
Dalam konferensi pajak internasional di India yang diikuti 11 delegasi DDTC, Wakil Direktur Pusat Kebijakan dan Administrasi Pajak Grace Perez-Navarro OECD mengingatkan semua negara yang tengah mempertimbangkan langkah sepihak perlu belajar dari peristiwa yang dialami Prancis versus Amerika Serikat (AS).
Dia mengakui upaya untuk mencapai konsensus global terkait pajak ekonomi digital bukan persoalan yang mudah. Apalagi, setiap negara atau yurisdiksi memiliki kepentingan masing-masing. Namun, OECD terus berupaya untuk mencapai konsensus itu setidaknya pada akhir Juni 2020.
“Jika sampai kita tidak mencapai konsensus, ruang aksi unilateral ini terus menyebar. Dan itulah mengapa kami bekerja sekeras mungkin supaya bisa memberikan solusi secepat mungkin,” katanya.
Indonesia sendiri sejak awal mengaku akan tetap menunggu terciptanya konsensus global. Namun, belakangan ini pemerintah juga tengah bersiap jika konsensus tidak tercapai. Ketentuan tentang pemajakan ekonomi digital ini akan masuk dalam omnibus law perpajakan.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti kewajiban pelaku e-commerce menyampaikan data dan informasi secara berkala kepada Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.80/2019.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat aksi secara sepihak atau unilateral oleh suatu negara dapat dibenarkan untuk memajaki ekonomi digital. Hal ini dikarenakan menyangkut kedaulatan suatu negara untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari negaranya.
Pemerintah, sambungnya, tidak perlu khawatir dengan potensi aksi balas dari negara-negara asal perusahaan yang dipajaki. Darussalam menyebut dalam konteks ekonomi digital ada dua aspek yang dikejar yakni hak pemajakan dan porsi besaran pajak.
“Dalam konteks Indonesia aksi sepihak perlu karena ini untuk melindungi kedaulatan pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Negara lain seperti India, Prancis, Inggris juga melakukan aksi sepihak ini,” tegasnya.
Director of The Global Tax Policy Center Vienna University of Economics and Business Jeffrey Owens mengatakan sangat sulit memproyeksi akan terealisasi atau tidaknya konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital. Posisi AS, menurutnya, memegan peranan cukup penting.
“Jadi minggu depan ketika pertemuan Inclusive Framework akan terlihat bagaimana posisi AS dan apa langkah yang akan dilakukan anggota untuk mendorong posisi AS untuk ikut serta dalam perumusan konsensus,” katanya.
Darussalam tidak memungkiri upaya untuk memajaki ekonomi digital – terutama mengubah definisi bentuk usaha tetap (BUT) dan alokasi laba – terkendala dengan sistem pajak internasional yang hingga saat ini merujuk pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Namun, menurutnya, omnibus law bisa menjadi terobosan. Pertama, omnibus law bukan UU PPh. Selama ini ketakutan pemerintah adalah instrumen UU PPh yang bisa memajaki ekonomi digital mudah dipatahkan atau tunduk dengan P3B.
Kedua, tren di banyak negara terutama terkait pajak ekonomi digital menunjukkan upaya mengedepankan kepentingan domestik tanpa menghiraukan dengan koordinasi atau konsensus di tingkat global atau P3B.
Terkait dengan sengketa pajak internasional, menurut Darussalam, berangkat dari penggunaan dasar hukum yang berbeda antara dua pihak, yaitu ketentuan hukum domestic dan P3B. Sengketa mencakup dua garis besar, yaitu hak pemajakan dan besaran pajak yang dikenakan.
Direktur Neraca Pengeluaran BPS Puji Agus Kurniawan mengatakan data dan informasi yang akan dikumpulkan secara berkala oleh pelaku e-commerce berkaitan dengan data transaksi. Namun, hingga saat ini belum ditetapkan variable-variabel yang harus ada dalam pelaporan tersebut.
“Variabel-variabelnya masih dalam proses pembahasan dengan tim yang terlibat, antara lain Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kominfo, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia,” jelasnya.
Pemerintah mempertegas ketentuan mengenai penyelesaian barang yang dinyatakan tidak dikuasai (BTD) dan barang yang dikuasai negara (BDN) melalui PMK No. 178/2019. Dalam beleid itu, pemilik, importir, atau kuasanya atas BTD ataupun BDN dilarang menjadi peserta lelang dari barang yang dimaksud. Dalam ketentuan yang lama yakni PMK No. 62/2011, tidak ada klausul yang spesifik melarang pemilik ataupun kuasa untuk mengikuti lelang BTD dan BDN. (kaw)