KEBIJAKAN PAJAK

Sistem Pajak di Sektor SDA Perlu Lebih Berkeadilan, Begini Alasannya

Dian Kurniati
Selasa, 17 September 2024 | 17.00 WIB
Sistem Pajak di Sektor SDA Perlu Lebih Berkeadilan, Begini Alasannya

Program Manager Forum Pajak Berkeadilan Indonesia Herni Ramdlaningrum. (kedua dari kiri). 

JAKARTA, DDTCNews - Sistem pajak pada sektor energi dan sumber daya alam (SDA) dinilai perlu direformasi agar lebih berkeadilan bagi masyarakat.

Program Manager Forum Pajak Berkeadilan Indonesia Herni Ramdlaningrum mengatakan sistem pajak harus mampu mengatasi berbagai celah kebocoran penerimaan dari sektor SDA. Di sisi lain, sistem pajak juga harus mendorong pemerataan kesejahteraan masyarakat.

"Sistem pajak kita belum redistributif dan berkeadilan untuk masyarakat, termasuk rakyat yang ada di wilayah kaya SDA," katanya dalam Parallel Session: Reformasi Pajak Berkeadilan di Sektor Energi dan SDA, Selasa (17/9/2024).

Herni menuturkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA belum memiliki kekayaan fiskal yang maksimal untuk melaksanakan berbagai program prioritas.

Salah satu tantangan dalam optimalisasi penerimaan pajak pada sektor SDA ialah perpindahan dana atau modal gelap dari satu negara ke negara lainnya (illicit financial flows/IFF).

PRAKARSA telah melakukan studi dengan menggunakan pendekatan Global Financial Integrity (GFI) untuk menganalisis permasalahan IFF akibat trade misinvoicing pada sektor perikanan dan batu bara pada 2023.

Perikanan dan batu bara diteliti karena menjadi sektor yang dominan melakukan IFF berdasarkan studi PRAKARSA pada 2019.

Berdasarkan studi PRAKARSA 2023 pada tersebut, Indonesia diestimasi kehilangan potensi pendapatan senilai US$5,58 miliar sepanjang 2012 hingga 2021.

Herni menjelaskan data mengenai dampak IFF ini menjadi gambaran pentingnya reformasi sistem pajak untuk mengoptimalkan peran sektor SDA terhadap penerimaan negara. Terlebih, sistem pajak pada sektor SDA juga belum memperhatikan dampak eksternalitas secara maksimal.

Menurutnya, sistem pajak perlu diarahkan agar memenuhi prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG).

Dengan prinsip tersebut, lanjutnya, pajak akan dapat berperan sebagai instrumen untuk mengatasi berbagai eksternalitas negatif dalam pengelolaan SDA sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Artinya pajak menjadi efek remedies atau memulihkan atas kerugian yang terjadi. Biasanya kita melihat dari sisi lingkungan sehingga sistem pajak harus bisa mengatasi eksternalitas itu," ujar Herni.

Pajak Karbon

Sementara itu, perwakilan dari Indonesian Mining Association Mukhlis Ishak menilai sistem pajak perlu diintegrasikan dengan prinsip ESG. Misal, pajak karbon sebagai mekanisme ideal untuk mendorong pelaku usaha menurunkan emisi karbon agar tidak kena pajak.

Apabila melebihi batas (cap) karbon yang ditetapkan maka pelaku usaha masih memiliki pilihan untuk membeli kredit karbon. Dengan demikian, pajak karbon semestinya tidak terlalu berorientasi pada penerimaan negara.

Selain itu, kebijakan dan administrasi pajak juga harus sejalan dengan ekonomi sirkular. Pada konsep ini, pemerintah perlu memberikan insentif bagi wajib pajak yang mendukung kelestarian lingkungan. Bentuk insentifnya, seperti penetapan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah.

Menurutnya, sistem pajak berdasarkan prinsip ESG tersebut tidak hanya memotivasi wajib pajak lebih peduli lingkungan, tetapi pada akhirnya mendorong kepatuhan pajak dan meningkatkan penerimaan negara.

"Penerimaan pajak akan sustainable. Tidak hanya mengejar penerimaan jangka pendek, tetapi perbaikan basis pajak dalam jangka panjang," tutur Mukhlis. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.