Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ada integrasi faktur dan bukti potong pajak ketika coretax administration system (CTAS) diimplementasikan. Rencana integrasi tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (11/7/2024).
Dalam laman resminya, Ditjen Pajak (DJP) menyatakan integrasi faktur dan bukti potong pajak dalam 1 sistem pada akhirnya memungkinkan data yang ada pada keduanya bisa langsung digunakan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT).
“Memungkinkan data yang ada pada faktur dan bukti potong untuk langsung digunakan sebagai data isian pada formulir SPT (prepopulated) sehingga memudahkan pada tahapan berikutnya, yaitu tahap pengisian dan penyampaian SPT,” tulis DJP.
DJP menyatakan pada sistem yang digunakan saat ini, faktur pajak dan bukti potong pajak dibuat dengan menggunakan 2 aplikasi, yaitu e-faktur dan e-bupot. Sementara itu, laporan keuangan disampaikan dengan menggunakan format PDF.
Adapun dengan implementasi sistem yang baru, faktur dan bukti potong pajak dibuat dalam sistem coretax. Nantinya, sambung DJP, nomor seri faktur dan nomor bukti potong diberikan secara otomatis oleh sistem.
Diberitakan sebelumnya, penerapan (deployment) CTAS direncanakan pada akhir 2024. Pada saat ini, coretax masuk fase pengujian melalui kegiatan system integration testing (SIT) dan functional verification testing (FVT). Simak ‘Perkembangan Coretax DJP, Deployment Direncanakan Akhir 2024’.
Selain mengenai rencana integrasi faktur dan bukti potong pajak saat CTAS diimplementasikan, ada pula ulasan terkait dengan upaya pengamanan penerimaan pajak pada semester II/2024. Kemudian, ada juga bahasan tentang penyesuaian sistem dengan NPWP format baru.
DJP menegaskan untuk saat ini, permintaan data e-faktur hanya dapat dilakukan secara langsung ke kantor pelayanan pajak (KPP). Permintaan data e-faktur dilakukan dengan surat. sesuai dengan contoh format dalam Lampiran huruf L PER-03/PJ/2022 s.t.d.d PER-11/PJ/2022.
“Saat ini untuk permintaan data e-faktur hanya dapat dilakukan langsung ke KPP tempat PKP (pengusaha kena pajak) dikukuhkan,” tulis contact center DJP, Kring Pajak, saat merespons pertanyaan warganet di media sosial X.
Sejatinya, berdasarkan pada Pasal 35 beleid tersebut, permintaan data e-faktur dapat diajukan oleh PKP secara elektronik melalui laman DJP atau langsung ke KPP tempat PKP dikukuhkan jika data e-faktur rusak atau hilang. (DDTCNews)
Penyuluh Pajak Ahli Pertama DJP Dwi Langgeng Santoso mengatakan untuk saat ini, pembuatan faktur pajak masih mengacu pada PER-03/PJ/2022 s.t.d.d PER-11/PJ/2022. Adapun untuk e-faktur, hingga sekarang juga masih menggunakan nomor identitas berupa NPWP 15 digit.
“Kita masih mengacu pada PER-03/2022, pembuatan fakturnya tidak ada perubahan,” kata Langgeng. Simak 'E-Faktur Belum Pakai NPWP 16 Digit, Ini Penjelasan DJP'. (DDTCNews)
Pemerintah akan mengoptimalkan pengawasan untuk mengumpulkan penerimaan pajak senilai Rp1.028,1 triliun pada semester II/2024, lebih tinggi dibandingkan yang sudah terkumpul pada semester I/2024 senilai Rp893,8 triliun.
"Kita akan meningkatkan kebijakan pengawasan dan kepatuhan dan UU HPP. Penerimaan pajak semester II/2024 diperkirakan akan lebih tinggi dari semester I/2024," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target –penerimaan pajak pada tahun ini diperkirakan akan mencapai Rp66,9 triliun. Simak pula ‘Naik Signifikan, Defisit Anggaran 2024 Diproyeksi Jadi Rp609,7 Triliun’. (DDTCNews)
Menko Kemaritiman dan Investasi Binsar Pandjaitan menilai penerimaan negara yang lesu pada tahun ini disebabkan oleh inefisiensi di berbagai sektor. Oleh karena itu, pemerintah berupaya menghilangkan defisiensi melalui digitalisasi.
"Jika semua sektor pemerintahan sudah menerapkan digitalisasi maka efisiensi bisa diciptakan, celah untuk berkorupsi bisa berkurang, dan yang paling penting penerimaan negara bisa kembali meningkat," katanya.
Luhut menambahkan defisit APBN 2024 yang diperkirakan melebar akan menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga stabilitas keuangan dan keseimbangan anggaran negara. Pelebaran defisit ini terjadi seiring dengan pendapatan negara yang diproyeksi tidak mencapai target. (DDTCNews/Kontan)
Pemerintah mengungkapkan setidaknya ada 4 risiko terkait dengan pelaksanaan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 2024 yang dapat berdampak terhadap optimalisasi penerimaan negara.
Risiko pelaksanaan UU HPP pada 2024 yang dimaksud antara lain, pertama, belum optimalnya pemanfaatan data program pengungkapan sukarela (PPS), implementasi NIK sebagai NPWP, dan pertukaran data.
Kedua, penyusunan peraturan turunan UU HPP yang membutuhkan waktu lama sehingga berpotensi tidak selesai pada 2024. Ketiga, diperlukannya sosialisasi aturan turunan UU HPP agar implementasi aturan dimaksud berjalan optimal.
Keempat, dibutuhkannya waktu adaptasi baik baik pegawai maupun bagi wajib pajak terhadap sistem inti administrasi perpajakan yang baru, yakni coretax administration system.
"Kebutuhan waktu penyesuaian atas inisiasi rencana itu mampu memengaruhi kurang optimalnya upaya pencapaian pajak untuk memenuhi target pajak pada APBN," jelas pemerintah dalam Laporan Pelaksanaan APBN 2024 Semester I. (DDTCNews)
DJP kembali mengingatkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) untuk segera menyiapkan sistemnya sehingga dapat menggunakan NPWP 16 digit.
Penyuluh Pajak Ahli Pertama DJP Dwi Langgeng Santoso mengatakan NPWP 16 digit belum berlaku penuh sehingga NPWP 15 digit masih dapat dipakai hingga akhir tahun. Namun, ILAP tetap perlu bergegas menyesuaikan sistem sehingga penggunaan NPWP 16 digit tidak terkendala.
"Konsepnya ILAP juga harus menyesuaikan sistem mereka, yang mungkin basis data awalnya adalah 15 digit, nanti harus diganti ke format yang baru," katanya. (DDTCNews) (kaw)