Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersiap menyampaikan paparan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (2/7/2024). Rapat tersebut membicarakan tingkat pembahasan RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menyatakan tengah merumuskan kebijakan untuk menurunkan harga obat dan alat kesehatan (alkes).
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan obat dan alkes di Indonesia tergolong sangat mahal apabila dibandingkan dengan negara tetangga. Menurutnya, pemerintah akan mengurai permasalahan yang terjadi di sektor usaha farmasi dan alkes, termasuk dari sisi perpajakan.
"Perpajakannya bagaimana supaya bisa dibikin lebih efisien, lebih sederhana, tetapi tanpa juga mengganggu pendapatan pemerintah," katanya, dikutip pada Rabu (3/7/2024).
Budi mengatakan pemerintah menginginkan harga obat dan alkes dapat bersaing dengan negara tetangga. Selain itu, pemerintah juga bakal mendorong resiliensi industri obat dan alkes di dalam negeri agar siap menghadapi pandemi di masa depan.
Dia menjelaskan aspek perpajakan menjadi salah satu isu yang dibahas dalam rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), walaupun bukan menjadi yang utama. Apabila diilustrasikan, harga obat di Indonesia bisa mencapai 300% hingga 500% dibandingkan dengan Malaysia.
Mengenai pajak, dampaknya terhadap harga obat biasanya hanya berkisar 20% hingga 30%. Oleh karena itu, pemerintah juga mencari solusi untuk mengurai inefisiensi dalam proses perdagangannya.
"Dari sisi jalur perdagangannya masih ada inefisiensi. Tata kelolanya juga mesti dibikin lebih transparan dan terbuka sehingga tidak ada peningkatan harga yang unreasonable atau unnecessary dalam proses pembelian alkes dan obat-obatan," ujarnya.
Budi menambahkan pemerintah juga bakal memperkuat koordinasi di antara kementerian teknis guna mendesain ekosistem industri obat dan alkes. Di bawah koordinasi Menko Marinves Luhut Panjaitan, beberapa menteri teknis akan menindaklanjuti masalah tersebut antara lain kemenkes, kemenkeu, kemenperin, dan kemendag.
Selain itu, pemerintah juga berkomunikasi dengan asosiasi produsen obat dan alat kesehatan agar kebijakan yang dirumuskan sejalan dengan kebutuhan pengusaha.
Di mencontohkan soal kebutuhan 10.000 mesin ultrasonografi (USG), diharapkan Indonesia dapat membangun pabrik di dalam negeri ketimbang hanya mengimpor barang jadinya. Sayangnya, bea masuk atas impor USG hanya 0%, tetapi impor komponen USG dikenakan bea masuk 15%.
"Ini ada inkonsistensi. Di satu sisi kami ingin dorong industri supaya produksi, tetapi di sisi lain supporting insentif atau disinsentifnya enggak in line," imbuhnya. (sap)