KONTESTASI pemilihan umum (pemilu) presiden dan wakil presiden (wapres) telah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan calon presiden dan wapres terpilih.
Menjelang estafet kepemimpinan, visi dan misi yang sempat dilontarkan Prabowo-Gibran pun menarik untuk dikawal. Salah satu kebijakan yang diusung oleh pasangan yang memenangkan 58,6% suara pada pilpres ini adalah pembentukan badan penerimaan negara (BPN).
Pembentukan badan tersebut akan memisahkan Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) dari Kemenkeu (Kemenkeu). Urgensi dalam pemisahan itu, menurut dokumen visi-misi Prabowo-Gibran, dilandasi oleh rendahnya tax ratio Indonesia.
Sebenarnya, gagasan pembentukan otoritas pajak yang terpisah dari Kemenkeu dalam bentuk BPN sudah bergulir sejak lama. Rencana pembentukan BPN pun sempat muncul dalam visi misi kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014.
Selain itu, wacana pembentukan BPN juga sempat mencuat dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, hingga disahkan menjadi UU HPP, belum terdapat titik terang terkait dengan inisiasi pemisahan otoritas pajak dari Kemenkeu.
Dalam konteks global, tren memisahkan otoritas pajak dari Kemenkeu juga berkembang. Berbagai negara telah membentuk atau mentransformasi otoritas pajaknya menjadi sebuah lembaga yang lebih otonom sehingga dikenal dengan Semi-Autonomous Revenue Authority (SARA). Lantas, apa Itu SARA?
Istilah SARA terkait erat dengan kerangka kelembagaan yang melaksanakan administrasi perpajakan. Untuk itu, sebelum membahas SARA, perlu sedikit diulas mengenai variasi bentuk kerangka kelembagaan administrasi perpajakan.
OECD dalam publikasinya bertajuk Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies mengindentifikasi ada 4 variasi utama kerangka kelembagaan administrasi perpajakan. Berikut ini uraian keempat kerangka kelembagaan administrasi perpajakan.
Keempat variasi tersebut dapat disederhanakan menjadi 2 tipe, yakni otoritas pajak yang berada di bawah struktur organisasi Kemenkeu, dan otoritas pajak yang memiliki otonomi yang lebih luas.
Adapun SARA mengacu pada model kerangka kelembagaan yang memberikan otonomi lebih luas kepada otoritas pajak. SARA menjadikan otoritas pajak berada di luar Kementrian Keuangan dan biasanya dinaungi dengan payung hukum yang independen (Haldenwang, Schiller, & Garcia, 2014).
Menurut Crandall (2010), SARA adalah terminologi yang merujuk pada kerangka kelembagaan dan tata kelola organisasi yang terlibat dalam administrasi penerimaan, dengan kerangka tersebut memberikan suatu otonomi lebih besar dibandingkan dengan departemen/direktorat yang berada di bawah kementerian.
Berdasarkan model SARA, fungsi administrasi perpajakan diambil alih dari Kemenkeu dan diberikan kepada entitas semi-otonom yang disebut sebagai otoritas penerimaan (revenue authorities/RAs) atau otoritas penerimaan otonom (autonomous revenue authorities/ARAs) (J.Mann, 2004).
Otoritas penerimaan otonom (ARAs) tersebut dirancang dengan otonomi yang lebih luas (Taliercio, 2004). Pada dasarnya kata 'otonom' dapat diartikan sebagai kemandirian atau pemerintahan sendiri. Dalam konteks administrasi publik, J.Mann (2004) menuturkan otonom biasanya mengacu pada:
“... sejauh mana suatu badan atau lembaga pemerintahan mampu beroperasi secara independen dari kerangka pemerintahan secara umum baik dalam bentuk hukum dan status, pendanaan dan anggaran, keuangan, sumber daya manusia (SDM), serta aspek administrasi.”
Sebagai lembaga yang lebih otonom, menurut Crandall (2010) SARA diharapkan dapat lebih fokus dalam menjalankan tugasnya, dapat mengelola urusannya secara efektif, bebas dari intervensi politik dalam kegiatan sehari-harinya, serta dapat menjalankan strategi pengelolaan SDM secara independen.
Pengelolaan SDM secara independen itu mulai dari perekrutan, mempertahankan, memberhentikan, sampai memotivasi SDM (Crandall, 2010). Tren pembentukan atau transformasi otoritas pajak menjadi lembaga yang lebih otonom (SARA) pun meningkat, terutama di Afrika dan Amerika Latin (J.Mann, 2004).
Lebih tepatnya, banyak negara yang meninggalkan model otoritas pajak yang berada dalam garis struktur tradisional (direktorat di bawah Kemenkeu) dan beralih ke model SARA, terutama dalam 2 dekade terakhir.
Pada sejumlah literatur, SARA sering juga disebut sebagai Revenue Authority Model ataupun Unified Semi-Autonomous Revenue Bodies. Negara yang menerapkan SARA pun mengenalkan sistem SARA dengan beragam sebutan.
Misal, Peru mengenal sistem SARA dengan nama Superintendencia Nacional de Administración Tributaria of Peru (SUNAT), Kenya dengan nama Kenya Revenue Authority (KRA), Afrika selatan dengan The South African Revenue Service (SARS), dan Uganda dengan sebutan The Uganda Revenue Authority (URA). (sap)