Kinerja Penegakan Hukum 2023 DJP di Seluruh Indonesia. (sumber: Ditjen Pajak)
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) melakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) terhadap ribuan wajib pajak dan penyidikan terhadap ratusan wajib pajak pada 2023.
Dalam data Kinerja Penegakan Hukum 2023 DJP di Seluruh Indonesia yang dipublikasikan dalam laman resmi otoritas, jumlah wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukper pada tahun lalu tercatat sebanyak 1.218. Kemudian, 455 wajib pajak dilakukan penyidikan.
“89 berkas perkara dinyatakan lengkap oleh JPU (P-21) [jumlah turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya 98 berkas],” tulis DJP, dikutip pada Senin (1/4/2024).
Jumlah wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukper tersebut tercatat turun 2,09% dibandingkan jumlah pada 2022 sebanyak 1.244 wajib pajak. Namun, jumlah wajib pajak yang dilakukan penyidikan naik hingga 295,65% dari kinerja pada 2022 sebanyak 115 wajib pajak.
Sesuai dengan UU KUP, bukper adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang/telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Kemudian, pemeriksaan bukper adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
Adapun penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu di lingkungan DJP yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada tahun lalu, DJP mencatat ada 24 kasus yang dilakukan penghentian penyidikan sesuai dengan Pasal 44B UU KUP. Dari jumlah kasus tersebut, DJP mencatat total pembayaran pokok dan sanksi senilai Rp67,35 miliar.
Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan capaian pada 2022 sebanyak 16 kasus dengan total pembayaran pokok dan sanksi senilai Rp66 miliar. Seperti diketahui, dalam penegakan hukum pidana, wajib pajak diberikan kesempatan untuk menghindari sanksi pemidanaan (ultimum remedium).
Sesuai dengan penjelasan DJP dalam laman resminya, asas ultimum remedium bisa diterapkan pada tahap pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, setelah penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti ke penuntut umum, serta persidangan.
Pada tahap pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan—sebelum surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) disampaikan ke penuntut umum—, ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 8 ayat (3a) UU KUP sebesar 100%.
Pada tahap penyidikan—setelah SPDP disampaikan ke penuntut umum—sampai dengan tahap persidangan, ultimum remedium diimplementasikan dalam bentuk pembayaran pokok pajak dan sanksi administratif Pasal 44B ayat (2) UU KUP sebesar 100% untuk kealpaan, 300% untuk kesengajaan, dan 400% untuk faktur pajak fiktif.
“Hak wajib pajak untuk memanfaatkan ultimum remedium ini disampaikan oleh penyidik pajak dan penuntut umum sejak tahap pemeriksaan bukti permulaan sampai dengan tahap persidangan,” imbuh DJP. (kaw)