Ilustrasi. Warga menunjukkan uang baru di dekat mobil layanan kas keliling Bank Indonesia Tasikmalaya di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (21/3/2024). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww.
JAKARTA, DDTCNews – Penghitungan pajak penghasilan (PPh) atas tunjangan hari raya (THR) tidak bisa dipisah dengan gaji bulanan. Oleh karena itu, dengan skema tarif efektif rata-rata (TER), ada potensi pemotongan PPh Pasal 21 lebih besar pada bulan atau masa pajak tersebut.
Contact center Ditjen Pajak (DJP) mengatakan penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik bersifat teratur maupun tidak teratur.
Penghasilan yang dimaksud termasuk seluruh gaji, THR, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur. Ketentuan tersebut sudah diatur dalam dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 5 ayat (3) PMK 168/2023.
“Atas penghasilan dari THR tersebut silakan digabungkan dengan gaji dan penghasilan lain di masa pajak yang sama saat menerimanya, kemudian dikalikan dengan TER sesuai kategorinya (Lampiran PP 58/2023),” tulis Kring Pajak saat merespons pertanyaan warganet di media sosial X.
Perlu diingat, dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut berbeda. Untuk penghitungan dengan TER bulanan, tarif dikalikan dengan penghasilan bruto dalam 1 masa pajak. Untuk penghitungan 1 tahun pajak, tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak.
Dalam konteks tersebut, penghasilan bruto pada bulan-bulan-bulan pegawai tetap menerima THR, bonus, atau uang lembur tercatat lebih besar. Hal ini berkorelasi pada perbedaan tarif (TER) yang juga lebih besar.
“Jadi semakin besar penghasilan bruto yang diterima oleh pegawai yang bersangkutan, kemungkinan TER yang digunakan akan lebih tinggi juga, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong pada masa tersebut menjadi lebih besar,” imbuh Kring Pajak.
Otoritas memberi contoh pegawai tetap dengan gaji bruto pada April Rp5,5 juta dan mendapat THR senilai Rp2,3 juta. Oleh karena itu, total penghasilan bruto pada April adalah Rp7,8 juta. Jika status PTKP TK/0, TER yang dipakai adalah kategori A.
Sesuai dengan Lampiran A PP 58/2023, untuk penghasilan bruto bulanan Rp7,8 juta akan dikenakan tarif pajak 1,5%. Tarif tersebut lebih besar jika pegawai tetap tersebut tidak menerima THR, yakni penghasilan bruto bulanan Rp5,5 juta dengan tarif pajak 0,25%.
Namun demikian, dalam berbagai kesempatan DJP menyatakan hal tersebut tidak menambah beban pajak dalam 1 tahun (menggunakan ketentuan Pasal 17 UU PPh). Hal ini dikarenakan perbedaan dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21.
Berdasarkan PMK 168/2023, pada masa pajak terakhir, PPh Pasal 21 terutang dihitung dari selisih antara PPh Pasal 21 yang terutang selama 1 tahun/bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa pajak selain masa pajak terakhir (bulanan).
Saat penghitungan 1 tahun pajak (Desember), ada potensi lebih bayar. Namun, ada juga yang potensi kurang bayar. Jika lebih bayar, kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong wajib dikembalikan. Simak ‘Begini Skema Pajak (PPh Pasal 21) pada Bulan Pegawai Terima THR’. (kaw)