Ilustrasi.Â
JAKARTA, DDTCNews - Reformasi pajak yang dijalankan pemerintah telah berlangsung sejak 1983. Lompatan terbesar yang diambil pemerintah adalah mengubah sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment.Â
Salah satu tujuan utama reformasi pajak adalah mengoptimalkan penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara demi membiayai pembangunan. Namun, ternyata ada alasan khusus di balik dijalankannya reformasi pajak pada 1983. Apa itu?
"Tujuan utama pembaharuan perpajakan nasional ini adalah untuk lebih menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan lagi segenap kemampuan kita sendiri," petikan pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden ke-2 RI Soeharto, 16 Agustus 1983 silam.Â
Dari badan pidato secara menyeluruh bisa disimpulkan bahwa reformasi pajak dijalankan untuk mengurangi ketergantungan penerimaan negara dari sektor migas. Sebagai informasi, pada 1980-an, proporsi penerimaan migas terhadap total penerimaan negara mencapai 70%.Â
Mulai dekade 1980-an pula, pemerintah mulai mengkhawatirkan stabilitas ekonomi nasional lantaran harga minyak dunia yang fluktuatif dan sangat bergantung dengan geopolitik dunia, khususnya di kawasan Teluk, Timur Tengah kala itu.Â
Pemerintah Indonesia bahkan sempat melakukan devaluasi rupiah hingga 48% pada 1983, dari Rp702 menjadi Rp970 per dolar AS.Â
"Karenanya, pemerintah mulai menginisiasi program reformasi perpajakan. Tujuannya, meningkatkan penerimaan pajak, sekaligus meningkatkan kemandirian," tulis DJP dalam buku Reformasi Administrasi Pajak dari Masa ke Masa.
Reformasi perpajakan yang berlangsung pada 1983 dikomandoi oleh Menko Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana dan Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro.Â
Ada lima undang-undang (UU) yang disahkan pada akhir periode Pelita III tersebut. Pertama, UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Kedua, UU 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Ketiga, UU 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Keempat, UU 12/1983 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Kelima, UU 13/1983 tentang Bea Materai (UU BM).
Sistem Pajak Kolonial
Sebenarnya, ada alasan lain di balik dijalankannya reformasi pajak. Selain karena ketergantungan APBN terhadap sektor migas, reformasi pajak juga dilakukan karena sejak awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah terlalu 'setia' terhadap sistem perpajakan peninggalan kolonial Belanda.Â
Padahal, sistem perpajakan warisan Belanda tersebut dikenal beragam dan perhitungannya pun rumit. Pada awal Orde Baru, pemungutan pajak mengenal 58 tarif PPh, yang terdiri dari 48 tarif untuk wajib pajak perorangan dan 10 tarif untuk wajib pajak badan. (sap)