Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat memberikan paparan.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras masih relatif tinggi seiring dengan produksi beras yang menurun dan adanya pelarangan ekspor oleh negara produsen.
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan andil beras terhadap inflasi secara bulanan pada Oktober 2023 sudah mencapai 0,06%. Secara tahunan, andil beras terhadap inflasi mencapai 0,58%.
"Untuk periode Oktober hingga Desember [2023], terjadi penurunan produksi beras 0,59 juta ton [atau turun 10,92%]," katanya, Senin (6/11/2023).
Akibat penurunan produksi beras, defisit produksi diperkirakan akan terus melebar hingga akhir tahun. Pada Oktober, defisit produksi beras diperkirakan mencapai 0,5 juta ton. Pada akhir tahun, defisit diperkirakan melebar menjadi 1,45 juta ton.
Meski defisit akan melebar pada Desember 2023, produksi beras sepanjang 2023 diperkirakan masih akan mencatatkan surplus sebesar 0,28 juta ton.
Berbeda dengan tahun lalu, kebutuhan beras pada tahun ini tak bisa serta merta langsung dipenuhi melalui impor. Sebab, terdapat beberapa negara yang menerapkan pelarangan ataupun pembatasan ekspor beras. Salah satunya adalah India.
"India ini adalah salah satu sumber utama impor beras Indonesia. Mereka menerapkan kebijakan restriksi ekspor dalam rangka mengamankan stok beras di negaranya," ujar Amalia.
Larangan ekspor beras jenis broken rice dan nonbasmati rice telah berlaku sejak Juli 2022 dan diperkirakan akan terus dilakukan hingga 31 Desember 2023.
Selain India, 2 negara lain yang menerapkan larangan ekspor beras adalah Bangladesh dan Rusia. Namun, pelarangan ekspor oleh kedua negara ini tidak memberikan dampak terhadap impor lantaran Bangladesh dan Rusia bukan negara asal impor utama.
"Kalau dilihat berdasarkan negara, 74% impor beras kita berasal Vietnam dan kedua baru Thailand. India proporsinya kecil sekali karena hal itu [pelarangan ekspor]," tutur Amalia. (rig)