Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Coretax administration system yang tengah dikembangkan Ditjen Pajak (DJP) akan menghubungkan data antarwajib pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (30/10/2023).
Karena data antarwajib pajak terintegrasi, ketika faktur pajak atau bukti potong diterbitkan oleh wajib pajak makan dokumen tersebut bisa langsung muncul pada data lawan transaksi. Dengan demikian, wajib pajak bisa mengecek langsung validitas transaksi.
Sebagai contoh, dalam beberapa kasus terdapat wajib pajak yang datanya dipakai oleh orang lain sehingga timbul dugaan kekurangan pembayaran pajak akibat penyalahgunaan data tersebut. Dengan adanya Portal Wajib Pajak (Taxpayer Portal), wajib pajak dapat secara langsung melakukan klarifikasi tanpa perlu menunggu dikirimkannya SP2DK.
"TAM (Taxpayer Account Management) dibuka untuk wajib pajak. Ada beberapa yang harus bisa diketahui oleh wajib pajak lewat TAM. Dibuka, 360 degree point of view wajib pajak. Konsepnya, wajib pajak tahu yang DJP ketahui. Data di taxpayer account itu benar sepanjang prosesnya benar," ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi.
Kehadiran TAM diharapkan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta rasa saling percaya antara wajib pajak dan fiskus. "Jadi kita lebih ke arah transparan, akuntabel, dan untuk wajib pajak orang pribadi pasti lebih mudah. Kemudian, data juga lebih valid dan performance-nya lebih baik. Inilah yang sebetulnya kita bangun," ujar Iwan.
Selain pembahasan tentang Taxpayer Portal, ada pula ulasan mengenai update pengembangan coretax system lainnya, SP2DK, posisi utang pemerintah, pajak karbon, dan kelanjutan sidang MK soal pemeriksaan bukper.
Coretax system diklaim bakal mempercepat proses keberatan dan banding yang diajukan oleh wajib pajak.
Iwan Djuniardi mengatakan dengan adanya coretax administration system, pengajuan keberatan yang muatannya terkait dengan perbedaan penerapan undang-undang akan langsung dinaikkan prosesnya ke tingkat banding.
"Kalau uji materi itu langsung dan masuk ke Pengadilan Pajak, karena kan masa sama-sama orang-orang DJP berbeda penerapan undang-undang. Kalau permohonannya itu beda penerapan undang-undang, itu langsung ditolak dan langsung masuk Pengadilan Pajak. Jadi lebih cepat," ujar Iwan. (DDTCNews)
Kemenkeu meminta wajib pajak untuk tidak panik ataupun risau bila menerima surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK) dari DJP.
Menurut Kemenkeu, SP2DK bukanlah objek surat perintah pemeriksaan. Artinya, masih ada ruang bagi wajib pajak untuk menyampaikan penjelasan atas data dalam SP2DK menurut versi wajib pajak.
Wajib pajak diimbau mencermati poin-poin yang memerlukan penjelasan dalam SP2DK dan menyiapkan bukti-bukti yang dimiliki terkait poin-poin tersebut.
Lewat SP2DK, DJP meminta penjelasan atas data dan keterangan berdasarkan penelitian kepatuhan material yang menunjukkan indikasi ketidakpatuhan dan kewajiban pajak yang belum terpenuhi. (DDTCNews)
Pemerintah mencatat posisi utang pemerintah hingga September 2023 mencapai Rp7.891,61 triliun.
Laporan APBN Kita edisi Oktober 2023 menyatakan posisi utang tersebut terhadap PDB sebesar 37,95%. Rasio utang ini menurun dibandingkan akhir 2022 dan berada di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Rasio ini juga masih sejalan dengan yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2023-2026 di kisaran 40%. (DDTCNews)
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan tarik ulur penerapan kebijakan pajak karbon menjadi topik yang menarik mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim.
Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Deden Djoenudin menyampaikan ada tiga prinsip penerapan pajak karbon. Pertama, adil, yaitu menggunakan prinsip polluters-pay-principle yang melakukan pencemaran yang harus menanggung beban pajak karbon agar tidak dibebankan kepada pelaku ekonomi yang memang tidak melakukan emisi.
Kedua adalah terjangkau, yaitu memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas. Lalu, prinsip terakhir adalah bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat. (Jawapos)
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP akan dilanjutkan pada 7 November 2023.
Dalam sidang lanjutan tersebut, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan pemerintah berencana menghadirkan 2 ahli.
"Kami ingin menyampaikan bahwa pemerintah berencana menghadirkan 2 orang ahli," katanya dikutip dari mkri.id.
Sebagai informasi, pemohon bernama Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (DDTCNews)