Presiden Joko Widodo.
JAKARTA, DDTCNews - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia kebanjiran barang impor lantaran masih belum mampu mengantisipasi perkembangan perdagangan elektronik, terutama terkait dengan social commerce.
Mantan wali kota Solo tersebut mengatakan perkembangan teknologi informasi harus diantisipasi segera mungkin oleh pemerintah. Bila tidak, Indonesia hanya akan menjadi konsumen dan pasar akan dibanjiri oleh barang impor.
"Saya kaget kemarin setelah rapat. Hanya dalam waktu bulan saja, saya tidak usah sebutkan aplikasi apa, sudah 123 juta orang masuk ke aplikasi itu. Pembeliannya masif sekali. Artinya, perilaku konsumen kita sudah dipegang, dan kita terlambat," katanya, Rabu (4/10/2023).
Jokowi menuturkan Indonesia perlu menyiapkan aturan mengenai perdagangan digital, pembayaran digital, hingga keamanan data. Tanpa regulasi, sambungnya, Indonesia hanya akan menjadi pasar dan rawan menjadi korban praktik predatory pricing.
"123 juta tadi itu hanya konsumen dan 90% barangnya itu barang impor dan harganya sangat murah, bahkan ada baju yang dijual Rp5.000. Artinya, ada predatory pricing. Bakar uang, yang penting bisa menguasai data dan perilaku. Ini semua kita harus ngerti," ujarnya.
Jokowi memandang fenomena itu seharusnya menjadi alarm bagi Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan digital. Bila terlena dan tidak bersiap, lanjutnya, Indonesia terancam bakal terjajah secara ekonomi.
"Jangan mau kita terkena kolonialisme era modern. Kita tidak sadar, tahu-tahu kita sudah dijajah secara ekonomi. Mungkin awal-awal harganya [baju] masih Rp5.000. Begitu semua sudah masuk, beli ini, sudah ketagihan, baru dinaikkan,” tuturnya.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia setidaknya telah menerbitkan 2 regulasi terkait dengan perdagangan elektronik guna merespons perkembangan baru-baru ini, yaitu Permendag 31/2023 dan PMK 96/2023.
Lewat Permendag 31/2023, pemerintah melarang social commerce untuk memfasilitasi transaksi dan juga menetapkan harga minimum senilai FOB US$100 atas barang yang diimpor lewat penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE).
Dengan demikian, hanya barang dengan nilai FOB US$100 per unit atau lebih yang bisa diimpor langsung melalui e-commerce ataupun PPMSE lainnya.
Lebih lanjut, PMK 96/2023 juga mewajibkan PPMSE, yakni retail online dan marketplace untuk bertukar data katalog dan invoice elektronik dengan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Kewajiban ini berlaku atas PPMSE dengan kiriman lebih dari 1.000 kiriman dalam 1 tahun kalender. (rig)