Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) akan melakukan survei terhadap wajib pajak melalui sambungan telepon. Kabar ini cukup menyedot perhatian netizen selama sepekan terakhir.
DJP mengumumkan tengah melakukan survei bertajuk 'Kepuasan Pelayanan dan Efektivitas Penyuluhan dan Kehumasan 2023' sepanjang Agustus hingga Oktober 2023. Wajib pajak akan dipilih secara acak sesuai dengan mekanisme yang dijalankan DJP dan pihak pelaksana survei.
"Survei akan berlangsung dalam metode wawancara menggunakan saluran telepon (seluler dan Whatsapp) sepanjang Agustus-Oktober 2023," tulis akun resmi DJP @DitjenPajakRI.
DJP menyebutkan survei ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan kepuasan dari pengguna layanan kepada otoritas pajak. Dalam menjalankan survei, DJP menggandeng pihak eksternal, yakni PT. Kokek selaku pelaksana survei.
Sebagai informasi, survei ini dilakukan DJP secara rutin setiap tahunnya. Metode surveinya pun beragam, seperti pada 2022 lalu menggunakan saluran email.
Lantas apa tujuan dilakukannya survei? Simak artikel lengkapnya, 'Siap-Siap Ditelpon Kantor Pajak! DJP akan Wawancarai WP Hingga Oktober'.
Topik lain yang juga menjadi perbincangan warganet berkaitan dengan kerja sama pengawasan yang dilakukan oleh DJP, Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK), dan pemerintah daerah (pemda). Ternyata sudah ada ribuan wajib pajak yang menjadi sasaran pengawasan secara bersama oleh ketiga instansi tersebut.
Pada pekan ini DJP, DJPK, dan 113 pemda menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) tripartit. Dengan demikian, terhitung sejak 2019 hingga sekarang, ada 367 pemda dari total 552 pemda seluruh Indonesia yang sudah menandatangani PKS.
Sejak PKS tahap I yang dilakukan pada 2019 lalu, sudah 8.277 wajib pajak yang diawasi bersama dengan 207 pemda.
Melalui kerja sama tersebut, pemerintah pusat dan pemda dapat menghimpun dan mengalirkan data dan/atau informasi perpajakan. Pengawasan wajib pajak bisa dilakukan bersama. Pemerintah pusat dan pemda juga bisa berbagi pengetahuan proses bisnis pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan.
Apa lagi bentuk kerja sama yang dijalin antara DJP, DPJK, dan pemda? Simak artikel lengkapnya, 'DJP, DJPK, dan Pemda: 8.277 Wajib Pajak Telah Diawasi Bersama'.
Selain kedua pemberitaan di atas, ada beberapa artikel lain yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, desakan kepada pemerintah untuk merampungkan aturan teknis UU HPP, pernyataan DJP soal sengketa transfer pricing, hingga upaya Indonesia masuk sebagai anggota OECD.
Fraksi Partai Nasdem meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan aturan turunan sebagai implementasi UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ketika membacakan tanggapan fraksinya atas Nota Keuangan RAPBN 2024, Anggota Fraksi Partai Nasdem Fauzi H Amro mengatakan aturan turunan dibutuhkan upaya peningkatan penerimaan pajak dapat dilaksanakan secara optimal.
Amro mengatakan pencapaian target penerimaan pajak pada tahun depan perlu didukung oleh upaya peningkatan kepatuhan mengingat harga komoditas pada 2024 diekspektasikan tak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Transfer pricing menjadi salah satu aspek yang masuk dalam rencana strategis DJP sejak periode 2022 hingga 2024 nanti.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti menjelaskan dalam rencana strategis DJP, otoritas berupaya terus melakukan pembenahan kebijakan terkait dengan transfer pricing.
"Bertujuan untuk mengoptimalisasi penghindaran sengketa transfer pricing [serta] mempercepat resolusi sengketa transfer pricing sehingga nantinya dapat mengoptimalisasi tingkat kepatuhan dan penerimaan pajak," ujarnya.
3. Kerja Sama dengan DJP, Pemda Diminta Tidak Salahgunakan Data
DJPK meminta pemda yang menjalin kerja sama pertukaran data dengan DJP untuk menjaga kerahasiaan data.
Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengatakan data perpajakan harus dikelola dengan baik, dijaga kerahasiaannya, dan tidak boleh disalahgunakan.
Untuk diketahui, seperti pejabat DJP, pejabat pada otoritas pajak daerah memiliki kewajiban untuk merahasiakan data dan informasi yang terkait dengan wajib pajak.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan terdapat kurang lebih 200 standar yang perlu diadopsi oleh Indonesia agar bisa menjadi negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Untuk mendukung upaya tersebut, pemerintah akan menyiapkan komite yang mengidentifikasi policy gap dan menerapkan standar yang perlu diterapkan oleh Indonesia agar segera menjadi negara anggota OECD.
"Sedang disiapkan keppres [tentang komite]. Mengenai konten, nanti sesuai dengan roadmap. Jadi apakah itu kebijakan perpajakan, terkait dengan BUMN, government procurement, dan yang lain-lain, tentu itu sesudah mereka menerima. Baru nanti kita bahas dan lihat satu persatu," ujar Airlangga.
Pemerintah menargetkan revisi atas 2 beleid yang mengatur tentang aspek perpajakan industri hulu migas bisa dirampungkan sebelum akhir 2023 ini.
Kedua beleid yang dimaksud adalah PP 27/2017 mengenai biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan PPh di bidang usaha hulu migas, serta PP 53/2017 soal perlakukan perpajakan pada kegiatan usaha hulu migas dengan kontrak gross split.
"Saat ini masih dalam pembahasan lintas kementerian, dan kami tetap optimistis bahwa tahun 2023 ini bisa diselesaikan," ujar Kurnia Chairi selaku Deputi Keuangan dan Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). (sap)