Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam Sharing Session Implementasi UU HKPD Pajak Listrik, Restoran, Hotel, dan Kos terhadap Pendapatan Daerah yang digelar oleh Tax Center FISIP Universitas Jember (UNEJ).
JEMBER, DDTCNews - Pemerintah daerah (pemda) memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan menjelang implementasi ketentuan pajak daerah sesuai dengan UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) pada 5 Januari 2024.
Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan menjelang tanggal tersebut, pemda perlu mulai memproyeksikan penerimaan pajak daerah sesuai dengan potensinya.
"Kalau di pemerintah pusat, jarang realisasi penerimaan pajak mencapai 100%. Kalau di daerah, biasanya tercapai 110% hingga 120%. Pertanyaannya apakah daerah itu lebih baik dalam kinerjanya atau targetnya tidak disusun dengan proyeksi yang baik?" ujar Bawono dalam Sharing Session Implementasi UU HKPD Pajak Listrik, Restoran, Hotel, dan Kos terhadap Pendapatan Daerah yang digelar oleh Tax Center FISIP Universitas Jember (UNEJ), Sabtu (17/3/2023).
Fenomena tersebut bisa menjadi indikasi bahwa target yang disusun oleh pemda tidak dilandasi dengan proyeksi dan pemetaan potensi pajak daerah yang baik.
"Ketika pemda menyusun perdanya [pajak daerah], tentu ini harus didukung dengan kajian-kajian proyeksi penerimaan yang nanti tertera dalam pos-pos APBD," ujar Bawono.
Berdasarkan working paper bertajuk Mempertimbangkan Reformasi Pajak Daerah berdasarkan Analisis Subnational Tax Effort yang dipublikasikan oleh DDTC, Bawono mengatakan pemda-pemda yang memiliki penerimaan pajak tinggi justru memiliki tax effort yang rendah.
Perlu diketahui, tax effort adalah rasio antara penerimaan pajak yang diperoleh dan estimasi penerimaan pajak yang seharusnya bisa diperoleh atau potensi penerimaan pajak. "Mereka yang targetnya tercapai biasanya effort-nya tidak terlalu besar. Ini menarik," ujar Bawono.
Selain menyiapkan kajian terkait dengan potensi pajak daerah, pemda juga perlu menyiapkan rancangan perda untuk melaksanakan pemungutan pajak daerah sesuai dengan UU HKPD.
Dalam UU HKPD, pemda hanya diperbolehkan untuk memiliki 1 perda yang mengatur seluruh jenis pajak daerah. Sebelum UU HKPD, pemda diperkenankan untuk membuat 1 perda untuk setiap jenis pajak daerah yang menjadi kewenangannya.
Dengan adanya penggabungan ketentuan perpajakan daerah dalam 1 perda maka kebijakan atas seluruh jenis pajak daerah perlu disiapkan sekaligus, tidak bisa disiapkan secara bertahap seperti sebelumnya.
"Dari sisi pemda ini harus mulai mendesain raperdanya, mengukur potensinya, dan bagaimana proses politiknya ini membutuhkan waktu juga," ujar Bawono.
Tak hanya itu, pemda juga perlu mengantisipasi dampak dari pengurangan objek pajak pada suatu jenis pajak terhadap penerimaan pajak daerah.
Pengurangan objek pajak contohnya terjadi pada pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa perhotelan atau yang pada UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikenal sebagai pajak hotel.
Dalam UU PDRD, rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 unit dikategorikan sebagai objek pajak hotel. Melalui UU HKPD, rumah kos tidak dikategorikan sebagai objek PBJT sehingga pemda tidak memiliki kewenangan untuk memungut PBJT atas rumah kos mulai 5 Januari 2024.
"Ini sudah diklarifikasi, ada statement-nya bahwa pajak atas kos ini sudah tidak ada lagi pada UU HKPD. Apakah ini akan mengurangi potensi pajak daerah dari rumah kos terutama di daerah kampus dan banyak karyawan?" ujar Bawono. (sap)