CUKAI HASIL TEMBAKAU

DJBC: Kita Beda dari Negara Lain yang Pungut Cukai untuk Pengendalian

Redaksi DDTCNews
Rabu, 28 Agustus 2019 | 14.25 WIB
DJBC: Kita Beda dari Negara Lain yang Pungut Cukai untuk Pengendalian

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Sunaryo.

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengagendakan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk tahun depan. Ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan pemerintah sebelum memutuskan kenaikan tarif.

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Sunaryo rancangan perubahan kebijakan CHT dilakukan dengan hati-hati. Menurutnya, ada empat pilar utama yang menjadi rujukan otoritas dalam menyusun kebijakan terkait CHT.

“Idealnya konsumsi bisa ditekan dan penerimaan maksimal adalah dua hal yang ingin kita kejar. Itu yang kita cari perimbangan kebijakannya,” katanya dalam diskusi bertajuk 'Optimaliasasi Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Tarif Cukai Tembakau', Rabu (28/8/2019).

Adapun keempat pilar tersebut antara lain, pertama, pengendalian konsumsi. Kedua, keberlangsungan tenaga kerja. Ketiga, pengurangan peredaran rokok ilegal. Keempat, penerimaan negara yang optimal.

Keempat faktor tersebut, menurutnya, harus dilakukan melalui beberapa kebijakan. Instrumen tarif merupakan salah satu faktor yang memainkan peran penting. Selain itu, diperlukan keseimbangan piihan kebijakan agar target ideal dari keempat faktor tersebut dapat tercapai.

“Bila prioritas kita hanya pengendalian konsumsi maka capaian penerimaan akan rendah dan peredaran rokok ilegal akan tinggi. Begitu juga sebaliknya ketika kita genjot penerimaan negara maka akan berdampak pada keberlangsungan tenaga kerja dan potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal,” katanya.

Menurutnya, diperlukan pendekatan yang ideal dalam merumuskan kebijakan cukai untuk produk turunan tembakau tersebut. Pasalnya, porsi penerimaan cukai di Indonesia mencapai 10% dari total pendapatan negara.

“Jadi kita harus seimbang dalam menjalankan fungsi cukai karena menyumbang 10% kepada total penerimaan. Jadi jangan hanya jalankan fungsi pengendalian. Kita berbeda dengan negara lain yang banyak terapkan cukai sebagai fungsi pengendalian seperti Filipina karena porsi penerimaan cukai mereka hanya berkisar 3%,” katanya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, menjelaskan terdapat tiga temuan utama dari hasil kajian Indef terhadap kebijakan CHT. Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodasi persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).

Golongan tarif itu disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil. Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.

“Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan (level playing field),” katanya.

Kedua, terdapat indikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Cukai dan peraturan turunannya hanya mengacu pada jumlah produksi rokok, bukan skala usaha industrinya.

Ketiga, keberadaan diskon rokok dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No.37/2017 menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tidak berkeadilan. Diskon rokok terjadi salah satunya akibat level playing field yang tidak setara.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) – harga jual akhir rokok ke konsumen – boleh 85% dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai. Produsen dapat menjual di bawah 85% dari HJE asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, keberadaan diskon rokok juga membuat penerimaan negara tidak optimal. Dari 1327 merek rokok yang diteliti pada April 2019, sebanyak 46,8% diskon terjadi pada SKM yang dikenai tarif cukai golongan yang rendah.

Indef, sambung Tauhid, memberikan tiga rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, melakukan langkah korektif dengan mengkaji kembali struktur tarif cukai. Kedua, menempatkan instrument yang tegas pada produsen rokok yang memanfaatkan batasan produksi dengan cara penciptaan merek baru dan afiliasi produksi.

Ketiga, menerapkan kebijakan HTP sama dengan HJE atau mempersempit wilayah survei dari saat ini sebanyak 40 kota. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.