Ilustrasi.
DEPOK, DDTCNews – Tantangan dalam pemajakan ekonomi digital dirasakan banyak negara termasuk Indonesia. Instrumen kebijakan tengah disusun agar efektif memajaki pelaku ekonomi di ranah daring.
Kepala Seksi Peraturan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Direktorat Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Andik Tri Sulistyono mengatakan instansinya tengah menggodok pembaruan atas PP No.74/2011 tentang tata cara pelaksana dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Menurutnya, banyak dimensi dari proses bisnis otoritas yang bisa menjadi lebih baik dengan adanya pembaruan aturan.
“DJP saat ini tengah dalam perumusan perubahan PP No.74/2011 karena ada beberapa pengaturan yang sudah tidak bisa lagi memfasilitasi kebutuhan kerja DJP,” katanya dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Kuasa Wajib Pajak’ di Kampus Fisip UI, Rabu (6/3/2019).
Menurutnya, dimensi PP No.74/2011 tidak hanya sebatas kepada isu kuasa wajib pajak yang berkembang pascaputusan MK tahun lalu. Landasan hukum untuk memajaki perusahaan ekonomi digital di luar yurisdiksi bisa dimulai dengan pembaruan aturan ini.
Selama ini, Andik menjelaskan aturan main dalam memajaki ekonomi digital memang belum paripurna. PMK 210/2018 misalnya, hanya mengatur kewajiban perpajakan bagi penyedia barang atau jasa kena pajak yang berada di dalam wilayah pabean.
Sementara itu, belum ada aturan yang secara spesifik untuk yang bergerak di luar daerah pabean tapi turut mendapatkan keuntungan dari pengguna di Tanah Air. Oleh karena itu, mekanisme khusus harus ada untuk menjangkau kelompok tersebut.
“DJP butuh mekanisme bagaimana suplier di luar wilayah pabean masuk ke dalam sistem perpajakan kita sehingga dimungkinkan untuk memungut PPN misalnya,” ungkap Andik.
Dia mengatakan kekosongan aturan tersebut tidak bisa dieksekusi dengan aturan setingkat PMK. Pasalnya, Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang berlaku saat ini tidak mengatur secara spesifik mekanisme perpajakan bagi pelaku ekonomi di ranah daring dan lintas yurisdiksi.
“Faktor [kemampuan memungut pajak] itu tidak masuk dalam lingkup UU KUP yang sekarang. Oleh karena itu kita butuh minimal di level PP untuk mengatur itu, sehingga aspek administrasi, pengawasan dan penegakan hukum dapat dilakukan,” imbuhnya. (kaw)