JAKARTA, DDTCNews – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengkaji temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan pemerintah maupun pihak terkait lainnya mengenai persoalan utang pajak penghasilan (PPh) badan yang belum sepenuhnya dilunasi.
Menurut laporan hasil pemeriksaan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2018 yang diserahkan ke DPR, Selasa (2/10/2018), tertulis OJK masih belum melunasi utang PPh badan per 31 Desember 2017 sebesar Rp 901,1 miliar.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan OJK sejak 2014 dan 2015 sudah membayar kewajiban pajak Rp836,72 miliar sehingga utang PPh badan yang jadi temuan merupakan akumulasi yang belum dilunasi pada 2015, 2016 dan 2017.
“OJK sedang mengkaji dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya mengenai kebijakan akuntansi pemanfaatan pungutan yang menjadi objek pajak, termasuk dalam hal ini besaran jumlah pajak dan waktu pembayarannya," ujar dalam keterangan resmi, Rabu (3/10).
Untuk mengangsur kewajiban PPh badan, OJK menggunakan kelebihan realisasi anggaran Rp9,75 miliar, yang juga menjadi salah satu temuan hasil pemeriksaan oleh BPK, karena dana itu merupakan pungutan yang melebihi pagu anggaran.
Dalam pemeriksaan tersebut, BPK juga menemukan adanya penerimaan pungutan pada 2015-2017 setelah diperhitungkan realisasi kebutuhan sebesar Rp439,91 miliar yang belum disetor kepada kas negara.
Anto menjelaskan kelebihan realisasi tersebut digunakan untuk dana imbalan kerja jangka panjang lainnya sesuai amanat Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dikelola sendiri oleh OJK dalam upaya pemenuhan kewajiban kepada karyawan.
Berdasarkan ketentuan Pernyataan Standar Akuntansi 24, dana imbalan kerja dapat dikelola secara mandiri atau melalui partisipasi pihak ketiga dalam bentuk aset program.
“Namun, berdasarkan rekomendasi BPK, pengelolaan dana imbalan kerja OJK diwajibkan melalui pengelolaan pihak ketiga karena OJK tidak dibolehkan melakukan pencadangan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang.”
Temuan pemeriksaan BPK lainnya adalah adanya gedung yang sudah disewa dan dibayar OJK sebesar Rp412,31 miliar yang tidak dimanfaatkan serta adanya aset tetap dan tak berwujud yang tercatat dalam neraca dan berasal dari APBN yang belum ditetapkan statusnya.
BPK juga menilai OJK menggunakan kantor Menara Merdeka yang habis masa sewa tidak berdasar kontrakdengan nilai sewa yang belum jelas. Untuk masalah ini, Anto mengatakan tidak dimanfaatkannya sewa gedung guna mencegah pengeluaran lebih besar dan ancaman rent-trap.
Akhirnya, OJK masih memakai gedung milik Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sampai OJK mempunyai gedung sendiri. “Untuk dapat memiliki gedung sendiri, OJK diberi peluang oleh Kemenkeu dan Menteri BUMN untuk memanfaatkan aset barang milik negara dan BUMN.”
Saat ini, menurut Anto, OJK sedang menyiapkan berbagai opsi yang ditawarkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN termasuk mendapatkan asistensi dari Kejaksaan Agung agar tata kelola tetap terjaga dengan baik dan benar.
Sedangkan, terkait kontrak sewa penggunaan gedung kantor Menara Merdeka, OJK sudah melakukan kesepakatan dengan manajemen gedung dan pembayaran akan dilakukan pada Oktober 2018.
Meski mendapatkan sejumlah temuan, OJK mengapresiasi BPK yang telah merilis opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan OJK 2013-2017 atau 5 tahun berturut-turut. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan peningkatan tata kelola OJK secara berkesinambungan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.