Dirjen Pajak Robert Pakpahan. (DDTCNews - Ditjen Pajak)
JAKARTA, DDTCNews – Pelemahan nilai tukar rupiah hingga di titik terendah setelah krisis moneter 1998 justru berpotensi memberi windfall bagi penerimaan negara.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan ada berkah jangka pendek dari kondisi rupiah yang terus tertekan. Hal ini, sambungnya, langsung akan terlihat dari sisi pajak pertambahan nilai (PPN) impor dan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor.
“Kalau dari penerimaan jangka pendek, dari sisi penerimaan pajak sangat strong. Lihat saja, angka penerimaan PPN impor dan PPh pasal 22 impor yang strong sejak Januari sampai Agustus,” katanya seusai rapat dengan komisi XI DPR, Selasa (4/9/2018).
Namun demikian, menurutnya, hal tersebut tidak bisa menjadi ukuran keberlanjutan penerimaan negara. Menurutnya, pergerakan nilai tukar rupiah dan efeknya ke fiskal harus dilihat secara komprehensif.
Dalam perdagangan spot pada Selasa (4/9/2018), mata uang Garuda ditutup melemah 0,8% di level Rp14.935 per dolar Amerika Serikat (AS) dari penutupan pada hari sebelumnya Rp14.815 per dolar AS. Angka ini terendah sejak 20 tahun terakhir.
Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate /Jisdor) pada hari ini dipatok senilai Rp14.840 per dolar AS. Dengan demikian, nilai tukar mata uang Garuda melemah 0,49% dari posisi Rp14.767 per dolar AS.
Dalam APBN 2018, asumsi nilai tukar rupiah dipatok Rp13.400 per dolar AS. Melihat sensitivitas dalam APBN 2018, setiap pelemahan nilai tukar rupiah Rp100 per dolar AS, berpotensi menambah penerimaan negara sekitar Rp3,8 triliun - Rp5,1 triliun.
Potensi tambahan penerimaan itu berasal dari penerimaan perpajakan Rp2,1 triliun - Rp2,6 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp1,7 triliun - Rp2,5 triliun. Estimasi itu menganggap asumsi indikator lainnya tidak bergeser.
Berdasarkan data Ditjen Pajak, PPN impor dan PPh pasal 22 impor mencatat realisasi penerimaan yang relatif lebih besar dibanding setoran jenis pajak lainnya. Data per 30 Agustus mencatatkan setoran PPN Impor sebesar Rp118,36 triliun atau tumbuh 27,44%. Kemudian PPh 22 Impor sebesar Rp36,39 triliun atau tumbuh 25,63%.
“Harus komprehensif lihatnya,” imbuh Robert. (kaw)