JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Senin (5/2) kabar datang dari Ditjen Pajak yang berencana memberlakukan aturan mandatory disclosure rules (MDR) dalam waktu dekat. Kewajiban melaporkan perencanaan pajak (tax planning) yang disiapkan bagi wajib pajak ini merupakan strategi untuk mencegah praktik penghindaran pajak. Aparat pajak mencurigai tax planning banyak dilakukan wajib pajak Indonesia.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Herman Juwono menilai ketentuan MDR ini harus tetap berjalan karena follow-up dari proyek Base Erotion and Profit Shifting (BEPS). Dalam aksi BEPS tersebut, wajib pajak, promotor atau pengatur strategi pajak diwajibkan untuk mengungkapkan skema atau model tax planning-nya. Alhasil pelaksanaan tax planning perlu mendapatkan persetujuan Ditjen Pajak.
Kebijakan ini memang akan menimbulkan pro kontra. Oleh karena itu, ia mengingatkan Ditjen Pajak untuk memperhatikan momentum penerapan aturan dan sejauh mana dampak sosial dari penerapan kebijakan ini.
Berita lainnya masih seputar kewajiban lapor strategi pajak yang berpotensi membuat kegaduhan baru dalam perpajakan nasional. Berikut ringkasan beritanya:
Ditjen Pajak berencana menerapkan aturan MDR, di mana perencanaan pajak (tax planning) perlu mendapat restu dari otoritas pajak. Menyikapi rencana kebijakan tersebut, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan pemerintah perlu membuat kriteria yang membedakan antara tax planning agresif dengan yang low. Selain itu, kriteria tax planning di negara surga pajak juga harus dibedakan agar memenuhi unsur keadilan dengan negara yang memiliki aturan pajak bagus. Tidak kalah penting adalah dari segi pelaporan MDR yang harus cepat. Perlakuan MDR tidak bisa serupa dengan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilakukan per tahun.
Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Prijo Handojo mengatakan belum saatnya Indonesia menerapkan MDR. Pasalnya, penyelundupan pajak di Indonesia yaitu tidak melaporkan omzet secara benar. Ini dapat diatasi dengan jurus sederhana, yaitu administrasi yang baik. Menurutnya, MDR ini terlalu canggih untuk Indonesia dan bisa mubazir dalam penerapannya. MDR sendiri sudah diterapkan oleh negara maju seperti Inggris, Irlandia dan Korea Selatan. Dia menyebutkan pengertian aggressive tax planning juga belum jelas dan kriteria perencanaan pajak masuk kategori agresif juga masih subjektif. Oleh karena itu, akan muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum baru di Indonesia.
Guna meningkatkan kepatuhan, pemerintah telah menyederhanakan mekanisme pelaporan SPT melalui implementasi PMK No.9/PMK.03/2018 sebagai perubahan PMK No 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan atau SPT. Dalam beleid tersebut, otoritas pajak tak lagi melakukan penilaian kebenaran penulisan dan penghitungan di SPT wajib pajak. Selain itu, pelaku usaha yang mengalami kerugian dalam usahanya tak diwajibkan melaporkan SPT masa PPh Pasal 25. Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa pilihan tidak mewajiban pelaporan SPT masa PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang rugi semata-mata untuk memberikan kepastian kepada wajib pajak. Sekaligus sebagai upaya untuk mengerek peringkat kemudahan berusaha.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 228/PMK.03/2017 yang meminta perbankan untuk melaporkan data-data transaksi kartu kredit ke Ditjen Pajak dinilai tidak akan berjalan optimal. Hal tersebut didasarkan pada batas pelaporan yang hanya berlaku bagi kartu kredit dengan tagihan minimal Rp1 miliar per tahun. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin, Herman Juwono mengatakan batasan nilai itu terlalu besar, sehingga tidak efektif bagi sistem perpajakan Indonesia. Aturan ini memang diperlukan untuk mengejar target penerimaan pajak tahun ini, namun secara ideal batas minimum sebesar Rp200 juta sudah cukup untuk memberikan informasi profil pajak pemegang kartu kredit. (Amu)