Ilustrasi.
SINGAPURA, DDTCNews - Pemerintah Singapura mengusulkan kenaikan pajak karbon menjadi SG$25 atau sekitar Rp280.000 per ton pada 2024 dan 2025, serta SG$45 atau Rp502.000 per ton pada 2026 dan seterusnya.
Menteri Keberlanjutan dan Lingkungan Grace Fu mengatakan kenaikan tarif pajak diperlukan agar level tarif ideal dapat tercapai, yaitu pada kisaran SG$50 hingga SG$80 pada 2030. Menurutnya, strategi tersebut bakal efektif mempercepat target penurunan emisi karbon di Singapura.
"Kami menaikkan tarif pajak karbon secara bertahap melalui pemberitahuan yang lebih awal sehingga pelaku bisnis dapat bersiap untuk melaksanakan transisi rendah karbon mereka," katanya dalam rapat mengenai RUU Carbon Pricing bersama parlemen, Selasa (8/11/2022).
Fu menuturkan pemerintah perlu mengatur nilai ekonomi karbon atau carbon pricing sebagai langkah mitigasi untuk mencapai target zero net emissions. Dia memandang harga karbon yang tepat bakal mendorong pengusaha mengambil tindakan untuk mengurangi emisi mereka.
Dia menjelaskan carbon pricing yang diusulkan pemerintah telah dikaji secara hati-hati dengan turut mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Menurutnya, carbon pricing yang terlalu rendah tidak akan efektif mendukung pencapaian target penurunan emisi.
“Di sisi lain, carbon pricing yang terlalu tinggi justru akan membuat perubahan yang terlalu ekstrem, melemahkan daya saing, dan mengguncang sektor korporasi,” tuturnya.
Dalam merumuskan kebijakan carbon pricing, lanjut Fu, pemerintah juga telah mempertimbangkan ketersediaan teknologi dan produk hijau yang hemat biaya, laju penurunan emisi oleh sektor swasta, serta dukungan yang harus diberikan negara.
Saat ini, tarif pajak karbon yang berlaku di Singapura senilai SG$5 per ton hingga 2023. Pajak karbon dikenakan apabila suatu fasilitas menghasilan setidaknya 25.000 ton karbon dioksida ekuivalen per tahun.
Dia menilai RUU Carbon Pricing telah menetapkan parameter luas yang di dalamnya juga memuat pemberian insentif sementara bagi perusahaan di sektor Emissions-Intensive Trade-Exposed (EITE).
"Kami sadar perusahaan EITE akan menghadapi biaya yang lebih tinggi daripada sektor lain. Insentif sementara ini tidak akan menutup kewajiban mereka membayar pajak karbon," tuturnya seperti dilansir channelnewsasia.com. (rig)