ILUSTRASI. Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Rabu (1/9/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.
BANGKOK, DDTCNews - Pemerintah Thailand sedang merancang pengenaan pajak karbon untuk mengatasi emisi gas rumah kaca. Langkah Thailand ini serupa dengan Indonesia yang memasukan pajak karbon sebagai objek pajak baru melalui RUU HPP.
Dirjen Bea dan Cukai Thailand, Lavaron Sangsnit, mengatakan pemerintah perlu membuat kebijakan yang dapat menurunkan emisi sekaligus menambah penerimaan negara. Menurutnya, pajak karbon bisa dikenakan pada sektor industri tertentu yang menghasilkan banyak emisi.
"Pajak tersebut sejalan dengan tren penurunan penerimaan cukai dari bahan bakar fosil karena semakin banyak orang beralih ke kendaraan listrik," katanya, dikutip Senin (4/10/2021).
Lavaron mengatakan saat ini pemerintah Thailand tengah mendorong agar produksi kendaraan listrik berkontribusi hingga 30% dari total produksi mobil pada 2025. Dengan kondisi itu, artinya akan ada kemungkinan penurunan penggunaan kendaraan bertenaga bahan bakar fosil.
Saat ini, Thailand memberlakukan cukai atas bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, penerimaan negara dari sumber tersebut akan merosot seiring dengan konsumsi bahan bakar minyak yang menurun.
Lavaron menyebut penerimaan cukai BBM sekitar 600 miliar baht atau Rp253,7 triliun per tahun dan menyumbang sekitar 40% dari total pendapatan yang dikumpulkan Ditjen Bea dan Cukai. Menurutnya, pajak karbon berpotensi menambah penerimaan negara sekaligus menjadi insentif bagi pengguna kendaraan listrik.
Lavaron menambahkan, pihaknya juga tengah mengkaji skema tarif pajak pada kendaraan bermotor. Adapun struktur pajak kendaraan yang berlaku saat ini didasarkan pada tenaga mesin dan tingkat emisi karbon dioksida (CO2).
Misalnya, mobil penumpang dikenakan pajak 30% jika emisi CO2-nya setara atau lebih rendah dari 100 gram per kilometer. Sementara itu, pajak 40% diterapkan jika emisi CO2 melebihi 200 gram per kilometer.
"Tarif pajak yang diterapkan pada EV mungkin yang terendah karena EV hampir tidak menghasilkan CO2," ujarnya, dilansir bangkokpost.com. (sap)