Presiden Amerika Serikat Donald Trump setelah menandatangani TCJA akhir 2017.
JAKARTA, DDTCnews – Dua instrumen yang ada dalam Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) Amerika Serikat (AS) berpotensi menjadi standar kebijakan pajak global di masa depan.
Kedua instrumen yang ada dalam undang-undang (UU) bagian dari reformasi pajak AS oleh Presiden Donald Trump ini adalah tarif pajak minimum melalui aturan base erosion anti-abuse tax (BEAT) and the global intangible low-taxed income (GILTI).
Dengan demikian, TCJA tidak hanya menghancurkan asumsi mengenai kebijakan pajak AS yang berlaku selama ini. Lebih dari itu, secara tidak langsung, undang-undang pajak Negeri Paman Sam juga telah memberikan contoh untuk dapat diikuti negara lain.
Pasca pemotongan tarif pajak yang diberlakukan di AS, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengisyaratkan bahwa tarif pajak minimum global dapat digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan dilema memajaki ekonomi digital melalui laporan interim yang rencananya akan diterbitkan pada Juni 2019.
“Namun demikian, terdapat sorotan bahwa fakta lapangan mengenai BEAT dan GILTI yang dapat melanggar standar Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang disusun oleh OECD,” demikian komentar Richard Murphy, profesor ekonomi politik dari City University, seperti dikutip pada Kamis (25/4/2019).
Secara sederhana, BEAT merupakan ketentuan pajak minimum dengan menerapkan tarif yang lebih rendah untuk memperluas basis pajak. Ini juga mencakup pembayaran tertentu yang diberikan kepada perusahaan asing yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan domestik AS.
Sementara, GILTI merupakan kategori penghasilan baru atas pendapatan controlled foreign company (CFC) dari perusahaan multinasional AS yang saat ini menjadi subjek pajak AS. Kategori penghasilan baru ini untuk mencegah perusahaan memindahkan aset tidak berwujud – seperti kekayaan intelektual – ke luar AS dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah atas kategori penghasilan yang termasuk GILTI.
Ketentuan BEAT dan GILTI memiliki kemiripan dengan gagasan alternative minimum corporate tax (AMCT). Bahkan, melansirTPweek.com, banyak pihak yang mengadvokasi reformasi pajak serta LSM untuk mendukung ketentuan semacam AMCT diberlakukan tidak hanya di sektor digital.
Pada kasus negara Inggris, pemerintah pada awalnya bersikap konservatif dan tidak tertarik pada gagasan AMCT ini. Namun, seiring berkembangnya konsep AMCT ke pajak atas layanan digital, banyak orang yang kemudian mulai mempertimbangkan proposal ini menjadi kenyataan.
Ketentuan pajak minimum ini kemudian menjadi sebuah langkah logis berikutnya bagi negara tersebut. Pada masa depan, AMCT juga sangat mungkin untuk diberlakukan atas semua transaksi perdagangan atas perusahaan multinasional di negara Inggris.
“Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan data country by country report (CBCR) apabila tidak ada informasi lainnya yang tersedia untuk menguji alokasi laba yang adil. Oleh karena itu, AMCT ini dapat digunakan otoritas pajak untuk mengajukan keberatan atas perusahaan yang aktif di negara Inggris namun labanya dialokasikan di Irlandia yang merupakan tax havens,” pungkas Murphy lebih lanjut.
Perdebatan AMCT ini menjadi sangat sering terjadi di antara orang-orang yang menginginkan untuk diimplementasikan. Salah satu eksekutif perpajakan perusahaan yang berbasis di Inggris bahkan mengatakan pihak pendukung AMCT sering berselisih satu sama lain mengenai ketepatan implementasi.
Seperti reformasi pajak AS, AMCT akan menentukan basis dari perencanaan pajak tertentu sehingga akan menyulitkan para ahli transfer pricing untuk mencari celah penghindaran pajak. Hal ini dikarenakan adanya prinsip AMCT untuk membatasi sejauh mana tarif efektif tersebut bisa menjadi rendah tapi tetap legal dalam hal mencegah pergeseran laba. (kaw)