THAILAND, DDTCNews – Kedutaaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Thailand dan Federation of Thai Industry menggelar seminar investasi dengan tema Indonesian Taxation and Investment Policy pada Kamis, (20/7) di Queen Sirkit Convention Center Bangkok, Thailand.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak P.M. John L. Hutagaol mengatakan instrumen kebijakan pajak menjadi salah satu strategi yang bisa digunakan sejumlah negara untuk menggenjot investasi asing. Tercatat, pada 2016 Thailand termasuk 12 besar investor di Indonesia dengan nilai investasi USD 338,2 juta.
“Insentif pajak bisa digunakan sebagai sweetener untuk semakin menarik minat investor asing ke dalam negeri,” ujarnya dalam seminar yang dihadiri lebih dari 200 peserta yang mewakili berbagai bidang usaha dan industri di Thailand.
John menjelaskan pemerintah telah menerbitkan kebijakan insentif tax holiday berupa pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar 10%-100%. Kebijakan tax holiday itu berperan dalam mendorong investasi di bidang usaha pioneer atau usaha yang memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Ada juga paket kebijakan insentif pajak lainnya yaitu tax allowance yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159/PMK.010/2015 sebagaimana diubah terakhir dengan PMK 103/PMK.010/2016.
“Insentif pajak itu diberikan pada 71 bidang usaha, dan pada 74 bidang usaha dan daerah tertentu," ungkapnya.
Kebijakan insentif pajak tersebut pun memberikan 4 fasilitas pajak berupa investment allowance 30% yang dapat diamortisasi 5% setahun selama 6 tahun, penyusutan atau amortisasi yang dipercepat, pengurangan 50% atas tarif PPh Pasal 26 terhadap pembayaran dividen ke luar negeri, dan kompensasi kerugian 5 tahun hingga 10 tahun.
Sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan PP nomor 9 tahun 2016, syarat tax holiday adalah minimum besaran investasi Rp1 triliun, berbadan hukum Indonesia dan menempatkan 10% dana investasi dalam deposito di perbankan Indonesia.
Kendati demikian, ia mengakui timbulnya distorsi pada pertumbuhan ekonomi global disebabkan oleh penerbitan kebijakan insentif pajak yang semakin marak diterapkan di berbagai negara. Maka hal yang akan terjadi justru adalah perang tarif pajak yang menuju pada fase race to the bottom.
"Karena itu G20/OECD BEPS menerbitkan 'BEPS Action 5 Diverables' pada tahun 2015, hal ini mengenai rekomendasi soal harmful tax practices, bahkan saat ini sudah membentuk gugus tugas untuk mengatasi harmful tax practices itu," tuturnya. (Amu)