Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Kesepakatan awal yang dicapai G7 terkait dengan pajak minimum global mulai memunculkan perdebatan. Salah satunya mengenai tarif yang disepakati minimum 15%.
Beberapa pihak, Tax Justice Network misalnya, mengkritik tarif pajak minimum global yang telah disepakati G7 masih terlalu rendah. Beberapa artikel mengenai pajak minimum global, termasuk pro-kontranya, dapat dibaca di sini.
“Perdebatan mengenai tarif tentu akan sengit karena ada winner dan loser dari kesepakatan tersebut,” ujar Researcher DDTC Fiscal Research Lenida Ayumi, Jumat (11/6/2021).
Dalam catatan DDTC Fiscal Research, sambung Ayumi, skenario tarif pajak minimum global akan mengakibatkan 3 implikasi. Pertama, adanya negara yang diuntungkan (better off) karena tarif pajaknya berada di atas minimum.
Kedua, dampak netral karena tarif umum yang berlaku di negara tersebut sama dengan tarif pajak minimum global. Ketiga, dampak negatif (worse off), terutama untuk negara yang tarifnya akan berada di bawah tarif pajak minimum global sehingga mengurangi daya saing pajaknya.
Ayumi mengatakan berdasarkan pada studi komparasi yang dilakukan DDTC Fiscal Research atas tarif PPh badan umum yang tertera dalam undang-undang (statutory tax rate) di 173 negara, ada beberapa hal menarik.
Jika tarif yang ditetapkan ialah sama dengan kesepakatan G7 yaitu sebesar 15%, akan ada dampak worse off kepada 28 negara, termasuk di antaranya Irlandia, Makau, Swiss, dan Siprus. Namun, jika kesepakatan akhir ternyata lebih rendah, misalnya 10%, dampaknya hanya akan menyasar negara-negara yang memang kerap disebut tax haven seperti Jersey, Bermuda, dan Cayman Islands.
Menariknya, jika tarif pajak minimum global justru ditetapkan lebih tinggi, misalnya sebesar 20%, ada 50 negara yang mau tidak mau harus kehilangan daya saingnya seperti Singapura, Hong Kong, Mauritius, bahkan UK.
Namun demikian, pajak minimum global berupa tarif pajak efektif, yaitu beban pajak penghasilan (PPh) yang secara aktual dibayar kepada negara. Dengan adanya fasilitas dan rezim pajak khusus, sambungnya, tarif pajak efektif di suatu negara bisa jadi berada di bawah statutory tax rate.
“Oleh karena itu, jumlah negara yang worse off bisa jadi lebih banyak,” imbuh Ayumi.
Adanya penerapan tarif pajak minimum global juga diproyeksi akan mengubah aliran modal dunia. Jika mengamati pola aliran investasi global, negara-negara yang memiliki ekonomi substansi yang rendah -ditunjukkan dengan porsi PDB nasional terhadap PDB global yang minim- justru kerap berperan sebagai tujuan atau sumber investasi.
Hal tersebut diduga akibat adanya praktik penghindaran pajak, penyembunyian harta, serta rerouting investment. Oleh sebab itu, kesepakatan mengenai tarif pajak minimum global tidak hanya menjadi katalis konsensus mengenai pajak digital, tapi juga mengurangi kompetisi tarif dan praktik pengalihan laba. Simak ‘Kesepakatan G7 Soal Pajak Minimum Global, Kabar Baik untuk Indonesia’.
Khusus untuk pengalihan laba, sambungnya, praktik tersebut sangat dipicu perbedaan tarif PPh badan antarnegara. Besarnya gap antara tarif suatu negara dan negara lain akan mendorong pengalihan laba, seperti melalui manipulasi transfer pricing, thin capitalization, dan sebagainya.
Hal tersebut juga telah dibuktikan melalui berbagai literatur yang bersifat empiris. Simak pula kajian DDTC bertajuk Measuring BEPS and Its Countermeasures in Indonesia: A Preliminary Research Guide.
Terkait dengan tarif pajak minimum global, sambung Ayumi, kesepakatan awal yang dicapai G7 akan dirundingkan kembali dalam forum yang lebih luas, seperti BEPS Inclusive Framework yang beranggotakan lebih dari 130 negara. Perundingan inilah yang akan menentukan.
“Pasalnya, dengan adanya jargon kedaulatan fiskal, setiap negara memiliki hak penuh untuk menentukan tarif pajaknya. Dengan demikian, kesepakatan ini tentu akan melibatkan elemen politik ekonomi tiap negara,” imbuh Ayumi. (kaw)