Narasumber diskusi, dari kiri ke kanan: Sekretaris I PERTAPSI Christine Tjen, Ketua Umum PERTAPSI Darussalam, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Ruston Tambunan, Direktur P2Humas DJP Dwi Astuti, dan Taxation and Fiscal Policy Expert Machfud Sidik.Â
JAKARTA, DDTCNews - Korupsi di sektor perpajakan menjadi salah satu tantangan terkini yang perlu segera ditanggulangi. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Darussalam dalam diskusi bertajuk Korupsi dan Reformasi Perpajakan yang digelar oleh GIZ, Rabu (12/4/2023).
Menurut Darussalam, praktik korupsi di sektor perpajakan berpotensi memberikan dampak yang luas terhadap keuangan negara. Alasannya, penerimaan perpajakan sendiri menyumbang 70% terhadap total pendapatan negara pada APBN.
"Kalau di dalam sistem perpajakan ada korupsi maka yang menjadi 70% tonggak APBN ini sangat rawan. Kita tidak bisa anggap ini sepele. Kita ingin pajak kita ke depan makin mampu menopang negara Indonesia," ujar Darussalam.
Korupsi di sektor perpajakan, menurutnya, bisa terjadi karena ada interaksi antara kedua sisi, yakni muncul permintaan dari sisi wajib pajak serta penawaran dari sisi otoritas pajak. Artinya, korupsi perpajakan tidak serta merta timbul karena perilaku oknum otoritas semata.
Menurut Darussalam, ketika wajib pajak melakukan penghindaran pajak, tindakan tersebut sudah tergolong korupsi pada sektor perpajakan. Secara prinsip, tindak korupsi oleh wajib pajak didorong oleh adanya ketidakpatuhan.
Khusus untuk di Indonesia, Darussalam menambahkan, otoritas telah menjalankan sejumlah program untuk menekan celah ketidakpatuhan wajib pajak.Â
Sementara dari sisi otoritas pajak, korupsi pada sektor perpajakan berpotensi timbul akibatnya luasnya diskresi yang dimiliki.
"Pada banyak negara yang disurvei itu adalah masalah diskresi. Diskresi memang harus ada tetapi ke depan harus punya ukuran-ukuran yang pasti," ujar Darussalam.
Guna mengurangi potensi timbulnya korupsi pada bidang perpajakan, Darussalam mengatakan pemerintah perlu berfokus meminimalisasi timbulnya kesempatan untuk melakukan korupsi itu sendiri.
"Reformasi perpajakan perlu menutup kesempatan agar tidak ada persinggungan lagi antara penawaran dan permintaan," ujar Darussalam.
Menurut Darussalam, kesempatan untuk melakukan korupsi pada sektor perpajakan dapat dikurangi lewat reformasi kebijakan dan hukum pajak. Darussalam mengatakan hukum dan kebijakan yang masih bersifat multiinterpretatif perlu diperbaiki.
"Reformasi kebijakan dan hukum pajak itu dibuat transparan, dibuat dengan mengikuti partisipasi publik, sehingga dapat diterima kedua belah pihak. Apapun yang diperdebatkan, pajak itu adalah kesepakatan antara negara dan masyarakat," ujar Darussalam.
Secara garis besar, Darussalam mengatakan reformasi perpajakan yang dilakukan oleh DJP baik pada masa sebelumnya maupun saat ini sudah mampu secara efektif menutup celah korupsi. "Reformasi perpajakan oleh DJP sebenarnya sudah menutup permasalahan-permasalahan kemungkinan korupsi pajak itu terjadi," ujar Darussalam. (sap)