Founder DDTC Darussalam dalam Diskusi dan Peluncuran Buku Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kemenkeu kepada MA, Rabu (23/4/2025).
JAKARTA, DDTCNews - Pemindahan kewenangan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Mahkamah Agung (MA) menjadi penanda dari dimulainya babak baru bagi badan peradilan khusus tersebut.
Founder DDTC Darussalam mengatakan proses penyatuan atap perlu dipandang sebagai momentum untuk meningkatkan transparansi, keadilan, dan kepastian hukum di Pengadilan Pajak.
"Harapan kami dengan penyatuan atap ini Pengadilan Pajak menjadi lebih terang, transparan, adil, dan lebih memberikan kepastian kepada kami wajib pajak," ujar Darussalam dalam Diskusi dan Peluncuran Buku Kajian Persiapan Penyatuan Atap Pengadilan Pajak dari Kemenkeu kepada MA, di Sari Pacific Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Selama ini, kehadiran Pengadilan Pajak seringkali dikaitkan dengan upaya pengamanan penerimaan negara.
Hal ini kurang sejalan dengan fungsi Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengamanan penerimaan negara sejatinya adalah tugas dari lembaga eksekutif, bukan lembaga yudikatif.
"Kami hanya menginginkan Pasal 2 UU Pengadilan Pajak, bahwa Pengadilan Pajak hadir untuk wajib pajak mencari keadilan atas sengketa pajak. Jadi prioritas kehadiran Pengadilan Pajak adalah untuk memberikan tempat bagi wajib pajak untuk mencari keadilan," ujar Darussalam.
Tak hanya itu, penyatuan atap juga perlu diikuti dengan revisi atas UU Pengadilan Pajak. Pasalnya, meski frasa 'Departemen Keuangan' telah dihapuskan dari Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023, saat ini masih terdapat 10 ketentuan lain yang terkait dengan kewenangan menteri keuangan.
"Kewenangan Kementerian Keuangan itu sebenarnya berserakan di 10 ketentuan, dari Pasal 8 ayat (1) sampai Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak," ujar Darussalam.
Ke depan, Darussalam berharap ke depan ada kepastian hukum terkait latar belakang pendidikan dari pihak-pihak yang boleh menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Selama ini, seseorang bisa menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak meski tidak bergelar sarjana hukum.
"Realitas yang terjadi adalah sampai hari ini sebagian besar yang menjadi kuasa hukum itu bukan sarjana hukum. Kami berasal dari jurusan akuntansi yang belajar materi hukum pajak," ujar Darussalam.
Darussalam berharap, dalam hal MA akan menetapkan persyaratan baru bagi kuasa hukum, persyaratan baru tersebut tidak berlaku surut bagi para kuasa hukum yang sudah memiliki izin kuasa hukum (IKH) sebelum penyatuan atap.
Dengan demikian, kalaupun ke depan kuasa hukum di Pengadilan Pajak harus bergelar sarjana hukum, aturan baru tersebut seyogianya hanya berlaku bagi mereka yang mengajukan IKH setelah penyatuan atap.
"Andai kata ada persyaratan sarjana hukum, permohonan kami itu harusnya diberlakukan bagi pemain baru yang akan mendapatkan IKH," ujar Darussalam.
Tak hanya itu, Darussalam juga mendorong adanya penambahan tingkatan pengadilan dalam sistem peradilan pajak. "Kalau nantinya mengikuti hukum acara di MA, apakah nanti ada kasasi?" kata Darussalam
Saat ini, wajib pajak yang bersengketa hanya dimungkinkan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Tidak ada ruang bagi wajib pajak untuk mengajukan kasasi ke MA. Ke depan, wajib pajak perlu diberi kesempatan untuk menempuh upaya hukum kasasi atas putusan Pengadilan Pajak.
Terakhir, Darussalam juga mendorong dihapuskannya sanksi administratif berupa denda sebesar 60% atas wajib pajak yang permohonan bandingnya ditolak atau dikabulkan sebagian.
Hal ini diperlukan untuk mewujudkan sistem peradilan pajak yang sederhana dan berbiaya ringan. "Jangan sampai denda itu menakutkan bagi kami [wajib pajak] sehingga kami tidak berani untuk mengajukan permohonan banding," ujar Darussalam. (sap)