REVISI UU KUP

Ternyata Ada 6 Pertimbangan Pemerintah Ingin Pungut Pajak Karbon

Nora Galuh Candra Asmarani
Jumat, 09 Juli 2021 | 18.21 WIB
Ternyata Ada 6 Pertimbangan Pemerintah Ingin Pungut Pajak Karbon

Ilustrasi. 

DDTCNews – Pemerintah berencana mengenakan pajak karbon. Rencana tersebut menjadi salah satu usulan materi dalam rancangan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pemerintah menyatakan pengenaan pajak karbon dimaksudkan untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam mengendalikan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Paris Agreement yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) serta meningkatkan penerimaan negara.

“Untuk mengakselerasi penurunan emisi GRK serta untuk mendukung pencapaian NDC , diperlukan upaya agresif dari sisi regulasi,” tulis pemerintah dalam Naskah Akademik (NA) RUU KUP, dikutip pada Jumat (9/7/2021).

Pemerintah juga menyatakan perlunya meningkatkan partisipasi swasta dan masyarakat untuk mengendalikan emisi GRK. Terlebih, di tengah keterbatasan APBN, pemerintah membutuhkan tambahan pendanaan untuk dapat stay on track sesuai dengan program penurunan emisi yang telah tertuang dalam NDC.

Setidaknya terdapat 6 pertimbangan pemerintah dalam mengenakan pajak karbon. Pertama, penerapan prinsip polluters pay principle. Artinya, melalui pajak karbon, pemerintah ingin membebankan biaya kerusakan lingkungan akibat emisi karbon kepada pihak yang mengeluarkan emisi karbon.

Kedua, pajak karbon sebagai upaya mencapai target penurunan GRK dengan kemampuan sendiri. Dalam UU No.16/2016, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Ketiga, sumber baru pembiayaan pembangunan. Pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan dalam dokumen RPJMN 2020-2024. Selain itu, di tengah pandemi Covid 19, pemerintah juga menetapkan prioritas utama pada sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi.

Prioritas kesehatan dan pemulihan ekonomi tersebut menambah keterbatasan fiskal pemerintah. Untuk itu, pendapatan negara dari pajak karbon dicanangkan sebagai sumber baru bagi pembiayaan pembangunan atau menambah fiscal space.

Keempat, mengisi gap pembiayaan perubahan iklim. Berdasarkan pada data climate budget tagging, kemampuan APBN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim hanya sekitar 34% dari kebutuhan. Untuk itu, penerimaan dari pajak karbon akan menutupi gap pembiayaan perubahan iklim tersebut.

Kelima, sumber investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan. Investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan memerlukan dana yang sangat besar. Dengan adanya pajak karbon, pemerintah dapat melakukan earmarking atas pajak karbon untuk mendukung investasi ramah lingkungan dan terbarukan.

Keenam, sumber pembiayaan untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah. Pengenaan pajak karbon dapat berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah, terutama pascapandemi Covid-19. Untuk itu, pendapatan dari pajak karbon dapat dialokasikan pada masyarakat berpenghasilan rendah guna mengurangi dampak regresifitasnya.

Dalam NA RUU KUP tersebut, pemerintah juga menyatakan kebijakan mengenai pajak karbon akan cenderung mengarah pada pembentukan pajak baru. Pasalnya, secara konsep, pemungutan pajak karbon berbeda dengan PPh atau PPN atau pungutan lain yang berlaku saat ini.

Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah mengusulkan tarif pajak karbon senilai Rp75 per kilogram emisi CO2. Simak beberapa ulasan mengenai rencana pajak karbon di sini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
muhammad arul prasetio
baru saja
pajak karbon merupakan alternatif potensial bagi indonesia untuk memperoleh penerimaan. mengingat pula, saat ini indonesia sedang bangkit dari masa-masa sulit karena pandemi. disamping itu, pajak yang berorientasi pada mitigasi perubahaan iklim, menjadi instrumen untuk melindungi keberlangsungan lingkungan dan menjadi hak masyarakat mendatang.