UU HPP

Tarif Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak Peserta Tax Amnesty

Redaksi DDTCNews
Kamis, 07 Oktober 2021 | 16.09 WIB
Tarif Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak Peserta Tax Amnesty

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews - RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) resmi disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada hari ini, Kamis (17/10/2021). Salah satu kebijakan yang diatur di dalam beleid tersebut adalah program pengungkapan sukarela wajib pajak.

Program yang akan berlangsung mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022 ini terbagi menjadi 2 skema. Pertama, skema untuk wajib pajak yang telah menjadi peserta amnesti pajak. Kedua, skema untuk wajib pajak orang pribadi yang belum melaporkan harta bersih dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh).

Untuk wajib pajak peserta amnesti pajak, dalam skema pertama, dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan pengampunan pajak sepanjang dirjen pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.

“Harta bersih … merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak. Harta … merupakan harta yang diperoleh wajib pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015,” penggalan Pasal 5 ayat (2) dan (4) UU HPP.

Adapun pajak penghasilan yang bersifat final dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak (DPP). Adapun DPP yang dipakai yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan. Terkait dengan tarif, UU HPP mengatur 5 kelompok.

Pertama, tarif 6% atas harta bersih yang berada di dalam NKRI, dengan ketentuan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau surat berharga negara (SBN).

Kedua, tarif 8% atas harta bersih yang berada di dalam NKRI dan tidak diiventasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN.

Ketiga, tarif 6% atas harta bersih yang berada di luar NKRI, dengan ketentuan dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan. Adapun wadah investasinya masih sama, yakni kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau SBN.

Keempat, tarif 8% atas harta bersih yang berada di luar NKRI dengan ketentuan dialihkan ke dalam NKRI dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam NKRI dan/atau SBN.

Kelima, tarif 11% atas harta bersih yang berada di luar NKRI tidak dialihkan ke dalam NKRI.

Adapun nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih ditentukan berdasarkan pada pertama, nilai nominal (untuk harta berupa kas atau setara kas). Kedua, nilai yang ditetapkan pemerintah, yaitu Nilai Jual Objek Pajak (untuk tanah dan/atau bangunan) serta Nilai Jual Kendaraan Bermotor (untuk kendaraan bermotor).

Ketiga, nilai yang dipublikasikan PT Aneka Tambang Tbk (untuk emas dan perak). Keempat, nilai yang dipublikasikan PT Bursa Efek Indonesia (untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia).

Kelima, nilai yang dipublikasikan PT Penilai Harga Efek Indonesia (untuk surat berharga negara dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan perusahaan). Nilai harta dihitung sesuai dengan kondisi dan keadaan harta pada akhir tahun pajak terakhir.

“Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman …, nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik,” bunyi Pasal 5 ayat (10). (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.