Dirjen Pajak Robert Pakpahan. (DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) menjadi salah satu indikator yang sering dipakai untuk menilai kinerja Ditjen Pajak (DJP). Lantas, bagaimana pendapat Dirjen Pajak Robert Pakpahan terkait tax ratio?
Mengutip informasi dari laman resmi Kemenkeu, Robert menegaskan tax ratio digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dari perekonomian atau produk domestik bruto (PDB). Ini menjadi ukuran kemampuan pemerintah membiayai berbagai keperluan negara.
“Jadi, kalau tax ratio rendah berarti dia tidak terlalu mampu banyak berbuat. Kalau tax ratio tinggi berarti dia lebih banyak mampu berbuat melalui APBN,” jelasnya, seperti dikutip pada Senin (25/2/2019).
Definisi tax ratio yang digunakan Indonesia, sambungnya, merupakan cakupan arti luas. Cakupan arti luas ini, paparnya, tidak hanya memasukkan komponen pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, dan cukai saja. Royalti sumber daya alam (SDA) juga masuk dalam hitungan.
Cakupan arti luas ini, menurut Robert, sesuai dengan rekomendasi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Selama ini, pemerintah juga menyodorkan definisi dalam arti sempit (pajak murni) yang tidak memasukkan royalti SDA.
"Kita sekarang menuju ke luas. Memang royalti itu ada yang berpendapat bukan pajak, ada [juga yang berpendapat itu] pajak. Kalau di Indonesia, penerimaan dari royalti itu masuk PNBP. Sekarang kita memasukkan royalti dari migas dan royalti PNBP dari pertambangan umum sebagai komponen tax ratio,” jelasnya.
Kendati demikian, Robert mengatakan tax ratio pajak di Indonesia belum sepenuhnya dalam arti luas karena pajak daerah tidak masuk dalam hitungan. Tax ratio Indonesia, lanjutnya, sedang mengarah pada angka ideal sesuai standar internasional yakni 15% ke atas.
Namun, upaya peningkatan rasio pajak harus dilakukan secara perlahan dan bertahap dari angka terakhir 11,5% pada 2018. Peningkatan perlahan ini diperlukan agar tidak ada distorsi pada perekonomian. Menurutnya, peningkatan yang ideal adalah sedikit di bawah 1% per tahun.
"Jangan tiba-tiba karena kalau tiba-tiba besar, ekonominya kaget. Tadi biasanya dibelanjakan swasta, tiba-tiba dibelanjakan pemerintah. Kan, belum tentu bagus juga terhadap ekonomi,” imbuh Robert.
Untuk meningkatkan tax ratio, paparnya, juga perlu perangkat pendukung seperti unsur administrasi perpajakan maupun struktur ekonomi. Dengan demikian, peningkatan rasio ini tidak hanya bergantung pada DJP, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), atau Kementerian Keuangan semata. (kaw)