KEPALA KANWIL DJP JAKARTA PUSAT ESTU BUDIARTO:

‘Sepanjang Sudah Bisa Leluasa, Pengawasan akan Lebih Bagus’

Redaksi DDTCNews
Minggu, 10 Januari 2021 | 09.01 WIB
‘Sepanjang Sudah Bisa Leluasa, Pengawasan akan Lebih Bagus’

Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat Estu Budiarto. (Foto: DDTCNews)

JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 memberi dampak pada kinerja penerimaan pajak. Salah satunya dikarenakan rencana pengawasan, terutama dalam skema berbasis kewilayahan, tidak dapat optimal.

Hal ini juga dialami Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jakarta Pusat. Pengawasan berbasis kewilayahan tidak bisa efektif karena ada pembatasan sosial sebagai bagian dari upaya menekan penularan virus Corona. Padahal, proses pengawasan ini perlu banyak bergerak dan mendatangi wajib pajak.

Untuk menggali lebih jauh, DDTCNews mewawancarai Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat Estu Budiarto untuk mencari tahu kondisi yang terjadi serta berbagai langkah yang dilakukan. Wawancara dilakukan pada akhir 2020. Kutipannya:

Bagaimana kinerja penerimaan pajak di Kanwil DJP Jakarta Pusat?
Kinerja penerimaan pada 2020 memang agak tidak menggembirakan. Sebetulnya, kalau melihat pertumbuhan bruto masih lumayan bagus. Dengan pertumbuhan yang minus 16%, masih lebih baik dari kinerja nasional hingga November.

Memang adanya Covid-19 ini membuat penerimaan tertekan terutama karena pertumbuhan restitusi dan insentif pajak lainnya. Kami itu di Jakarta Pusat paling banyak gelontoran restitusinya.

Ini karena dengan pola insentif yang baru, batas pengajuan pengembalian pendahuluan kan meningkat jadi Rp5 miliar. Nah, insentif itu cukup banyak yang memanfaatkan. Kemudian ditambah wajib pajak patuh. Jadi, restitusi di Jakarta Pusat meningkat cukup tajam, 40%-50% pertumbuhannya.

Sebetulnya, sudah banyak yang dilakukan Kanwil DJP Jakarta Pusat untuk mengamankan penerimaan. Salah satunya dengan melakukan bedah dan analisis atas wajib pajak untuk menemukan potensi yang dapat ditindaklanjuti.

Kemudian, percepatan penyelesaian pemeriksaan dan pencarian penagihan aktif, penyelesaian pemeriksaan khusus dengan potensi besar, serta pembukaan seluruh saluran pelayanan mulai dari WA (whatsapp), email dan media sosial.

Ada penggalian potensi melalui marketplace. Selain itu, kami menindaklanjuti data pihak ketiga dan data dari kantor pusat. Kami juga manfaatkan data wajib pajak yang tidak mengikuti insentif dan memprioritaskan penggalian potensi untuk wajib pajak yang rutin mengajukan restitusi tiap bulan.

Bagaimana manajemen post audit setelah adanya lonjakan restitusi?
Post audit secara umum tidak masalah untuk 2021. Betul restitusi tumbuh dan itu nilai rupiahnya yang tinggi. Jadi, restitusi Jakarta Pusat tahun ini tinggi karena efek dari kebijakan.

Wajib pajak berhak menfaatkan fasilitas karena masuk sebagai kriteria tertentu. Untuk SPT 2019 dan akhir 2018 itu masih proses normal yang konsekuensinya [pengembalian] rupiah pada tahun ini [2020].

Sementara itu, SPT Masa 2020 karena sudah ikuti kriteria tertentu, dia turun juga. Saya yakin tahun depan [2021] nilai restitusi tidak akan sebesar tahun ini [2020].

Nah, untuk menyiasati pemeriksaan itu, untuk wilayah kami, yang besar adalah restitusi PPN yang kegiatan ekspor. Jadi, memang pemeriksaan akan makin banyak tapi tidak terlalu membebani karena itu kan rutin lapor SPT Masa. Jadi, prosesnya rutin saja.   

Selain restitusi PPN dipercepat, apakah wajib pajak memanfaatkan insentif lain?
Kalau selain pengembalian pendahuluan, kami melihat hampir merata. Misalnya, untuk insentif PPh Pasal 21 itu banyak juga yang memanfaatkan, UMKM juga banyak. Untuk wilayah Jakarta Pusat itu merata karena bisa dibilang wajib pajak di sini karakteristiknya sudah well educated.

Jadi, kalau ada fasilitas, umumnya mereka sudah tahu. Ditambah lagi, kawan-kawan di KPP juga ikut mengimbau. Begitu juga konseling dengan menggunakan zoom yang tetap berjalan untuk insentif.

Mulai 2020 telah dicanangkan skema pengawasan berbasis kewilayahan. Bagaimana implementasinya?
Untuk kewilayahan ini, alhamdullilah itu di-launching di Jakarta Pusat, tepatnya di KPP [Pratama Jakarta] Sawah Besar Satu dan [KPP Pratama Jakarta] Gambir Satu pada 1 Maret 2020.

Ini merupakan konsep yang sangat bagus, apalagi untuk wilayah kami di Jakarta Pusat. Saya sangat senang dan mendukung dengan konsep tersebut.

Namun, ternyata belum sempat kami memulai bekerja dan baru memulai proses asesmen, tidak bisa efektif berjalan karena situasi Covid-19. Proses kerja berbasis kewilayahan ini kan perlu banyak bergerak dan mendatangi wajib pajak.

Untuk wilayah Jakarta Pusat dengan cakukan kerja 1-2 kelurahan ini sebetulnya [skema kerja] nyaman untuk kami. Semestinya kinerja di Jakarta Pusat bisa lebih efektif. Namun, karena Covid-19, kami belum bisa leluasa bergerak seperti yang diharapkan.

Kanwil DJP Jakarta Pusat pindah kantor dari lingkungan Kantor Pusat DJP. Apakah ini bagian dari strategi kerja berbasis kewilayahan?
Kami pindah ke sini [JB Tower, Gambir] itu September 2020. Masih baru. Sekarang gedung kantor pusat itu dipakai untuk headquarter beneran. Jadi, yang kewilayahan tidak di sana lagi karena mendekati lokasi kerja.

Jadi, kawan-kawan saat rapat menjadi lebih dekat. Semua Kanwil di Jakarta itu sudah pindah dari kantor pusat dan Kanwil Jakarta Pusat yang paling akhir pindahnya.

Apakah ada penambahan unit kerja sebagai implikasi pengawasan berbasis kewilayahan?
Penambahan itu dengan membuat KPP Madya Jakarta Pusat Dua yang berasal dari penggabungan KPP Pratama Gambir Satu dan KPP Pratama Gambir Empat. Ini sesuai dengan ketentuan dari MenPAN-RB, tidak ada penambahan unit kerja dalam struktur organisasi DJP.

Pada awal tahun lalu [2019], ada relokasi wajib pajak meskipun tidak langsung berhubungan dengan kewilayahan. Jadi, kalau lihat pertumbuhan penerimaan per KPP dan per Kanwil itu kan ada pergeseran wajib pajak. Saya buat angka sampingan untuk mengukur beban target KPP.

Misalnya, saat saya lihat [KPP Pratama Jakarta] Sawah Besar Dua, kinerja penerimaannya 2020 minus sangat besar dibandingkan 2019. Mengapa itu terjadi? Karena OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tahun lalu terdaftar di sana dan bayar pajak di sana. Angka setorannya itu lumayan.

Kemudian, OJK pindah menjadi terdaftar di LTO [Kanwil DJP Wajib Pajak Besar]. Di internal Jakarta Pusat, ada beberapa wajib pajak yang dipindahkan ke KPP Madya. Jadi, memang konsep KPP Madya dan LTO seperti itu. Hal ini biasa saja hanya terjadi shifting.

Dengan skema pengawasan berbasis kewilayahan, bagaimana fungsi Kanwil DJP Jakarta Pusat?
Secara prinsip kerja sebetulnya tidak mengalami banyak perubahan. Dengan pengawasan berbasis kewilayahan yang diamanatkan Pak Dirjen [Pajak] itu sekarang AR (account representative) lebih banyak untuk wajib pajak strategis. Jadi, tentu saja dari arahan tetap ada penyesuaian.

Bidang ekstensifikasi yang dulunya koordinasikan Seksi Ekstensifikasi kini ditambah jadi Seksi Waskon III, IV, dan V. Waskon II dan III kolaborasi dengan ekstensifikasi. Ekstensifikasi lebih banyak turun ke lapangan. Jadi, Kanwil tetap monitor tapi disesuaikan dengan proses kerja yang baru.   

Jadi, apa saja yang dilakukan kanwil dan unit kerja di bawahnya pada 2020?
Untuk konteksnya kewilayahan, teman-teman di KPP lebih banyak mengumpulkan data. Operasi lapangan itu tetap ada tapi mungkin tidak terlalu efektif untuk bisa menghubungi wajib pajak.

Namun, untuk kegiatan seperti jalan, pemetaan, melihat langsung, dan mengamati itu dilakukan melalui kendaraan. Salah satu contohnya dilakukan KPP [Pratama Jakarta] Gambir Empat. Dengan jalan kaki di pagi hari, mereka sudah muterin wilayahnya.

Jadi, sekarang ini mulai memetakan kondisi di lapangan. Apa saja potensi yang ada di wilayah, kemudian tentu saja dengan online juga dilakukan karena tidak bisa dihindari.

Jadi, kawan-kawan mulai lakukan browsing di wilayah kerjanya. Ini siapa, usahanya bidang apa. Jadi, lebih banyak ke situ. Namun, untuk [kegiatan yang] berhubungan dengan wajib pajak itu belum terlalu banyak.

Apa saja sektor usaha yang menjadi tumpuan penerimaan pajak di Kanwil DJP Jakarta Pusat?
Bila diruntut dari sektor usaha, yang pertama itu perdagangan sebesar 35%. Sektor itu cukup signifikan [kontribusinya] kepada penerimaan. Namun, sektor lain juga ada.

Misalnya, industri pengolahan menyumbang 7,3% karena kebetulan tempat kantor grup usaha besarnya di Menteng, Tanah Abang, atau Gambir. Jadi, cukup banyak industri pengolahan yang induknya di sini. Kemudian, sektor jasa keuangan dan asuransi itu kontribusinya 13,2%.

Bagaimana prospek penerimaan dan pengawasan berbasis kewilayahan pada 2021?
Sepanjang sudah bisa bergerak dengan leluasa dan sudah yakin kalau vaksin sudah ada sehingga membuat kami berani keluar, seharusnya pengawasan berbasis kewilayahan akan lebih bagus. Pertemuan langsung dengan wajib pajak bisa lebih banyak.

Insyaallah, teman-teman bisa berhubungan setiap tahun sekitar 30% dari wajib pajak terdaftar. Bila target itu terpenuhi maka dalam 3 tahun hampir semua wajib pajak pernah berhubungan dengan teman-teman. Jadi, itu rencananya.

Bagaimana potret kepatuhan wajib pajak di Kanwil DJP Jakarta Pusat?
Jumlah wajib pajak terdaftar di Kanwil DJP Jakarta Pusat itu pada 2019 ada 613.147 wajib pajak. Ini terdiri atas 118.173 wajib pajak badan, 132.600 wajib pajak nonkaryawan, dan 362.374 wajib pajak karyawan.

Kepatuhan wajib pajak badan naik menjadi 79% dari tahun sebelumnya 74%. Kepatuhan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan pada 2019 sebesar 129% dan sekarang 111%. Kepatuhan wajib pajak orang pribadi karyawan tahun lalu 66% dan untuk sekarang 111%.

Namun, untuk Jakarta Pusat, khususnya orang pribadi, kita membacanya harus hati-hati. Ini karena orang pribadi itu kadang-kadang mendaftar dengan status sedang mencari kerja atau orang baru awal usaha. Jumlah yang seperti itu cukup banyak di Jakarta Pusat.

Misalnya, orang yang hendak menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia) di luar negeri atau untuk pengajuan kredit mobil. Jadi ada klasifikasi orang yang baru mencari kerja kemudian masuk dalam kelompok wajib pajak orang pribadi nonkaryawan.

Memang hal ini tidak selalu terjadi di semua KPP di Jakarta Pusat. Namun, kembali lagi, pendaftaran itu kan self assessment. Misalnya, saat saya posisi sedang mencari kerja kan tidak bisa ditulis sebagai wajib pajak orang pribadi karyawan.

Jadi, saya sering diskusi dengan kawan-kawan, sepertinya diperlukan satu lagi klasifikasi untuk itu. Hal ini supaya kinerja kepatuhan tidak seperti ini terus. Kelompok ini, secara angka, bertambah cukup banyak. Orang mencari pekerjaan, pindah dari daerah, dan yang baru lulus pendidikan.

Jadi membaca kepatuhan itu perlu hati-hati meski kepatuhan di Jakarta Pusat itu tinggi dengan memperhitungkan NE [non-efektif] sehingga kami bisa 100% lebih. Di sisi lain memang 100% sudah bagus, tapi apakah kita happy dengan catatan itu sehingga mengejar IKU yang tidak perlu?

Untuk menjawab itu saya bedakan dulu antara kepatuhan dan penggalian potensi. Kawan-kawan sudah punya data untuk penggalian potensi mulai dari layer pertama, kedua, ketiga, sampai keempat. Itu sudah dilaksanakan.           

Terkait dengan potensi, apakah masih ada ruang cukup besar untuk optimalisasi penerimaan?
Pajak itu kan kami pilah dalam dua kelompok besar PPh dan PPN. Keduanya itu yang signifikan. Ada bea meterai dengan UU baru itu ada potensi tapi tidak terlalu signifikan. Kemudian, PBB pusat itu di sini hanya sektor perikanan.

Kalau untuk PPN, tentu saja akan mengikuti perkembangan ekonomi. Jadi, kalau tahun depan sudah recovery maka PPN akan mengikuti setiap bulannya. Namun, untuk PPh berbeda. PPh itu kan lebih banyak berdasarkan potret tahun lalu.

Kondisi sekarang [2020] sudah situasinya seperti ini, saya rasa juga indikator perekonomian juga tidak terlalu bagus. Jadi, kemungkinan PPh di Jakarta Pusat akan drop. Ditambah dengan tarif PPh yang turun. Jadi, ada tambahan dari sisi regulasi.

Kemudian dari sisi yang dipajaki jangan-jangan tidak terlalu banyak yang untung. Di Jakarta Pusat bantalannya itu wajib pajak bidang jasa asuransi dan keuangan. Itu juga mengikuti irama perekonomian. Untuk kedua sektor itu masih bisa untuk pulih 2020 dan 2021.

Seperti apa dampak UU 2/2020 dan UU Cipta Kerja terhadap kinerja Kanwil DJP Jakarta Pusat?
Dengan kebijakan penurunan tarif dan lainnya itu, saya yakin dari atasan di kantor pusat sudah berhitung. Saya sudah [punya] pengalaman juga di PKP [Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan] menyiapkan data dan di tim peraturan juga pernah hitung tarif hingga sanksi.

Itu semua ada hitungannya dan saya yakin pajak itu sebenarnya persaingan bukan antara kita di dalam negeri, tapi berhadapan dengan Singapura, Thailand, dan lainnya. Kalau tetap ngotot dipajaki dengan tarif tinggi, khususnya untuk pajak badan, itu bisa jadi pilihan.

Namun, investasi tidak akan lari ke tempat dengan tarif tinggi. Jadi, dengan penyesuaian ini, saya yakin [otoritas] sudah melakukan analisis sehingga pada titik itulah  ada competitivness. Efek ke penerimaan pasti ada dengan tarif turun dan itu hitungan jangka pendek. kita berhitung jangka panjang.

Relaksasi pajak tentu dalam jangka pendek akan berakibat pada potential loss. Oleh karena itu, Kanwil Jakarta Pusat terus mencari potensi pajak lainnya. Potensi itu datang dari pamajakan marketplace, layanan digital, serta data yang didapat dari AEoI (automatic exchange of information).

Selain itu, penerapan proses bisnis dengan pendekatan kewilayahan sehingga Kanwil DJP Jakarta Pusat tetap bisa mengamankan penerimaan pajak yang sudah ditetapkan. (Kaw/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.