OPINI PAJAK

Meninjau Ulang Pengawasan DJP: Evolusi Peran Account Representative

Redaksi DDTCNews
Jumat, 13 Juni 2025 | 17.45 WIB
ddtc-loaderMeninjau Ulang Pengawasan DJP: Evolusi Peran Account Representative

Jordan Prasetya,

Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

PEMERINTAH berambisi menaikan rasio pajak menjadi berkisar antara 11,52% sampai dengan 15% pada 2029. Namun, data pada 2024 menunjukan bahwa meskipun penerimaan pajak tumbuh sebesar 3,6%, angka tersebut masih berada di bawah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 5,96%.

Akibatnya, rasio pajak Indonesia justru mengalami penurunan dari 10,31% menjadi hanya 10,08%. Kondisi ini menunjukan bahwa penerimaan pajak belum mampu mengimbangi laju ekonomi.

Beberapa upaya sebenarnya dapat dilakukan untuk menaikkan kinerja penerimaan pajak. Misalnya, melakukan perluasan objek pajak ataupun menaikan tarif perpajakan. Namun, risikonya bisa ke arah kontraproduktif. Hal ini bisa berimplikasi negatif karena beban pajak justru cenderung makin terkonsentrasi pada kelompok wajib pajak yang sudah patuh.

Dalam jangka panjang, strategi tersebut bukan hanya dapat menurunkan kepercayaan publik, tetapi juga memperlemah legitimasi sistem perpajakan itu sendiri.

Sebagai alternatif, ada pendekatan yang lebih adil untuk meningkatkan penerimaan pajak. Caranya, mengoptimalkan kepatuhan perpajakan. Tingkat kepatuhan yang tinggi memperluas basis pajak secara alami serta menciptakan ekosistem fiskal yang sehat demi mendukung terwujudnya perpajakan yang berkelanjutan.

Namun, kepatuhan tidak bisa tumbuh dengan sendirinya. Diperlukan strategi dan peran aktif dari otoritas pajak dalam menjalankan mekanisme pengawasan yang efektif dan adaptif.

Karenanya, kemampuan Ditjen Pajak (DJP) dalam mendesain strategi pengawasan terhadap wajib pajak, khususnya melalui peran dan struktur account representative, menjadi penentu. Strategi pengawasan wajib pajak yang efektif dapat menjawab tantangan mengenai kepatuhan dan target rasio pajak ke depan.

Tulisan ini akan mengulas bagaimana mekanisme pengawasan DJP telah berevolusi selama satu dekade terakhir, serta menjadi bahan diskusi untuk menyongsong era baru pengawasan di bawah kepemimpinan dirjen pajak yang baru.

Transformasi Skema Pengawasan

Dalam dua dekade terakhir, DJP telah melakukan sejumlah reformasi terhadap mekanisme pengawasan perpajakan. Salah satunya, berjalannya transformasi peran account representative (AR) sebagai garda terdepan pembinaan dan pengawasan wajib pajak.

Sejak pertama kali dibentuk melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 98/KMK.01/2006, AR memiliki fungsi pengawasan dan pelayanan yang menyatu. AR dirancang sebagai penghubung strategis antara otoritas pajak dan wajib pajak. Tak cuma itu, AR juga bertugas melakukan intensifikasi perpajakan melalui pemberian bimbingan, imbauan, konsultasi, analisis, dan pengawasan terhadap wajib pajak.

Namun, seiring dengan meningkatnya kompleksitas pengawasan, muncul gagasan untuk memisahkan fungsi tersebut. Pada 2015, DJP menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 79/2015 yang membagi peran AR menjadi dua.

Pertama, fungsi pelayanan dan konsultasi yang menangani aspek administratif dan edukatif bagi wajib pajak. Kedua, fungsi pengawasan dan penggalian potensi. Fokus AR pada fungsi kedua jelas pada pengawasan teknis dan pemetaan potensi penerimaan pajak.

Selanjutnya, struktur AR kembali diperbarui melalui PMK 210/2017, di mana AR juga menjadi bagian dari Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Karenanya, muncul istilah ‘AR eksten’ yang menjalankan fungsi pengawasan, penggalian potensi, edukasi, dan pendampingan untuk wajib pajak yang baru terdaftar serta menjalankan peran ekstensifikasi.

Reorganisasi ternyata belum berhenti. Melalui PMK 184/2020 tentang perubahan atas PMK 210/2017, pemerintah menghapuskan Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Setelahnya, fungsi edukasi pajak dilaksanakan oleh Kelompok Jabatan Fungsional Penyuluh Pajak. Di sisi lain, Seksi Pengawasan dan Konsultasi pun berganti nama menjadi Seksi Pengawasan.

Model pengawasan yang dilakukan oleh AR pun kembali mengalami penyesuaian sebagaimana tertuang dalam PMK 45/2021. Pada titik ini, sekilas peran AR difokuskan hanya untuk pengawasan semata. Namun, cakupan tanggung jawab AR sebenarnya masih cukup luas.

Secara tertulis, definisi tugas AR bertambah menjadi setidaknya 7 poin utama, yaitu analisis melalui tindak lanjut intensifikasi dan ekstensifikasi, penguasaan wilayah dan pengamatan potensi, tindak lanjut data perpajakan, pengawasan kepatuhan, melaksanakan imbauan dan konseling, pengawasan tindak lanjut data dan informasi, serta penerbitan produk hukum dan produk pengawasan perpajakan.

Kemudian, melalui Surat Edaran SE-07/PJ/2020 dan SE-05/PJ/2022, DJP membagi wajib pajak ke dalam dua kelompok, yaitu wajib pajak strategis dan wajib pajak lainnya (berbasis kewilayahan).

Kedua beleid tersebut menjadi pedoman kegiatan pengawasan seperti penyusunan daftar prioritas pengawasan yang berdasarkan compliance risk management (CRM), data internal, dan data eksternal, juga aktivitas inti pengawasan kepatuhan material (PKM) dan pengawasan pembayaran masa (PPM).

Reformasi proses bisnis pengawasan yang terus dilakukan DJP merupakan upaya mewujudkan kepatuhan wajib pajak yang berkelanjutan. Namun, perlu disadari bahwa reformasi proses bisnis saja masih memiliki keterbatasan. Reformasi yang berjalan selama ini justru memperluas spektrum tanggung jawab AR tanpa menyederhanakan beban kerja.

Pada praktiknya di lapangan, AR kerap masih merangkap peran sebagai pendamping dan edukator, analis data, pelapor administratif, hingga pelaksana program strategis seperti amnesti pajak.

Tantangan Pengawasan Kepatuhan

Laporan Asian Development Bank (ADB) mengungkap bahwa pada 2021 Indonesia hanya memiliki sekitar 45.484 pegawai pajak untuk lebih dari 272 juta penduduk. Artinya, rasio antara petugas pajak dengan penduduk mencapai 1 berbanding 5.996. Ketimpangan rasio tersebut cukup tinggi.

Sebagai perbandingan, Malaysia mencatat rasio yang jauh lebih ringan, sekitar 1 berbanding 2.468 pegawai pajak, Vietnam 1 berbanding 2.715, serta China 1 berbanding 2.023.

Belum lagi jika perbandingannya tilihat dari jumlah AR. Berdasarkan Laporan Kinerja DJP 2024, jumlah AR mencapai 10.899 orang. Sementara itu, jumlah wajib pajak terdaftar mencapai 86,7 juta wajib pajak. Artinya, seorang AR bertugas untuk 7.954 wajib pajak. Di beberapa wilayah, rasio ini bahkan diperkirakan mencapai lebih dari 1 berbanding 10.000.

Segmentasi wajib pajak berbasis risiko juga nampaknya belum optimal. Akibatnya, pendekatan pengawasan masih seragam untuk seluruh wajib pajak, termasuk mereka yang bergerak di sektor digital yang tidak memiliki domisili tetap.

Beban struktural tersebut berdampak pada pola kerja AR yang cenderung berorientasi pada penyelesaian tugas administratif, bukan kepatuhan wajib pajak sebagai outcome strategis.

Dua dekade reformasi telah membentuk kerangka struktural, namun belum menyentuh desain kerja yang strategis. Di tengah tantangan kepatuhan dan transformasi ekonomi digital, saat ini menjadi momentum emas bagi DJP untuk menyusun ulang fondasi pengawasan.

Reformasi Model Pengawasan

AR dihadapkan pada tantangan ganda. Di satu sisi memikul tanggung jawab untuk mengamankan penerimaan negara melalui pengawasan kepatuhan, di sisi lain masih harus mendampingi dan mengampu wajib pajak.

Dalam konteks beban kerja yang tidak seimbang dan segmentasi wajib pajak yang belum matang, diperlukan beberapa pendekatan baru yang lebih strategis dan terfokus.

Pertama, peran AR perlu didefinisikan ulang. Apakah AR merupakan petugas pengawasan? Atau sebagai pegawai yang 'merepresentasikan' hubungan antara DJP dan wajib pajak (middle man)?

Sebagai petugas pengawasan, sebagaimana diperkenalkan dalam SE-05/PJ/2022, AR Strategis mengawasi pemenuhan kewajiban oleh wajib pajak besar dan memiliki risiko tinggi. Sementara AR Wilayah bertugas menangani kepatuhan wajib pajak berbasis kewilayahan dan berfokus pada peningkatan kualitas pengawasan berbasis data dan CRM.

Aksentuasi ini akan mengurangi pekerjaan nonsubstantial dan memungkinkan kualitas pengawasan yang lebih mendalam.

Kedua, menambah jumlah AR dan fungsional penyuluh dan memaksimalkan pemanfaatan teknologi dalam memberikan layanan konsultasi. DJP dapat mengembangkan generative AI berbasis aturan terkini dan permasalahan real time yang mampu menghadirkan solusi atas permasalahan yang dialami wajib pajak, terutama terkait dengan penggunaan aplikasi.

Sistem ini akan meminimalisir wajib pajak yang bertanya langsung ke AR untuk hal-hal yang sifatnya administratif. Selain itu, wajib pajak dapat menerima informasi secara lebih tepat guna mengurangi asimetri informasi seputar perpajakan.

Ketiga, desain ulang model pengawasan. Perlu ada kebijakan yang tepat mengenai pengukuran kegiatan pengawasan berdasarkan kualitas, bukan semata kuantitas ataupun besaran penerimaan yang dihasilkan. Terlebih, sebaran jumlah wajib pajak sangat beragam. Langkah ini akan membantu meningkatkan kualitas kepatuhan dalam jangka panjang.

Kepemimpinan baru di tubuh DJP menjadi momentum yang baik untuk mengonsolidasikan organisasi. Inilah saat yang tepat dalam menyusun ulang fondasi pengawasan.

Apabila reformasi struktural sebelumnya telah membentuk kerangka kerja pengawasan, kini saatnya membangun model pengawasan yang presisi, adaptif, optimal, dan manusiawi untuk menghadirkan sistem perpajakan yang sehat, adil, dan berkelanjutan. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.