Kepala Kanwil DJP Jabar III Catur Rini Widosari. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 telah berdampak pada kinerja perekonomian nasional. Lesunya ekonomi pada gilirannya berpengaruh pada performa penerimaan pajak yang hingga saat ini masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara dalam APBN.
Dampak itu juga dirasakan pada level Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Barat (Kanwil DJP Jabar) III. Di sisi lain, pandemi yang diikuti pembatasan sosial telah memaksa optimalisasi teknologi informasi dalam setiap proses bisnis. Tak terkecuali terkait dengan pelayanan kepada wajib pajak.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Kanwil DJP Jabar III Catur Rini Widosari untuk mencari tahu lebih dalam kondisi dan strategi yang dijalankan di tengah pandemi Covid-19. Catur juga bercerita mengenai persiapan penambahan KPP Madya. Kutipannya.
Bagaimana kinerja penerimaan Kanwil DJP Jabar III tahun lalu?
Kita berada di top five dengan capaian hampir 100%, yaitu 98,2% dari target Rp24 triliun. Pertumbuhannya 11,48%. Semua KPP pencapaiannya di atas rerata nasional. Terendah 92%. Ada 4 KPP dengan capaian 100%. KPP Madya kita 97% dan itu ranking satu dari seluruh KPP Madya dan LTO.
Effort tahun lalu luar biasa karena banyak konseling dan membina wajib pajak. Mereka yang punya piutang itu mencicil dan yang [selama ini] tidak lapor juga mulai melaporkan.
Basis data juga sudah banyak. Kita bagi tugas untuk effort. Kalau yang sudah tiga sampai empat kali dibina tidak kunjung patuh maka kanwil yang panggil wajib pajak. Jadi, akhirnya [penerimaan] bisa 98,2% [dari target].
Saya baru masuk Oktober 2018. Waktu itu saya minta kejar penerimaan rutin. SPT masa PPh Pasal 25 dan PPN itu. Kalau law enforcement pada 2018, penerimaannya enggak akan keterima. 2018 itu KPP Madya capaiannya 100% karena memang baru terbentuk. Untuk 2020 ini yang berat.
Mengapa berat?
Kami pada awal tahun sudah berat. Pada 2018, waktu saya masuk targetnya Rp15 triliun. Dengan ada KPP Madya bertambah jadi Rp18 triliun. Jadi, kami harus kumpulkan Rp3 triliun dalam 3 bulan. Pada 2019 targetnya naik ke Rp24 triliun. Begitu 2020 naik jadi Rp29 triliun, hampir Rp30 triliun.
Dengan target ini, saya menyemangati yang di bawah. Jangan kita pikirkan target, tapi bagaimana kita bertindak, berbuat, dan merencanakan strategi untuk mengamankan penerimaan. Sampai hari ini, kinerja kami masih top ten. Kami kuat di PPN. Karena PPN, ada hope penerimaan kita masih baik.
Pada situasi ini, kami tidak bisa opyok-opyok wajib pajak. Kok macam kami ini enggak paham situasi. Kami pilah-pilah. Tahun ini, kami harus legawa biar wajib pajak memanfaatkan cash agar bisa survive. Saya minta teman-teman legawa melihat situasi wajib pajak. Kami harus bisa memahami itu.
Sektor apa yang dominan menyokong penerimaan?
Dulu, sebelum ada KPP Madya, kami banyak disokong sektor perdagangan. Begitu ada KPP Madya, banyak sokongan dari manufaktur. Karena ada KPP Madya, ada tambahan 259 wajib pajak dari KPP Madya Bekasi.
Kami waktu itu belum punya KPP Madya jadi mereka masuk KPP Madya Bekasi di Kanwil DJP Jabar II. Padahal, mereka secara wilayah berada di Kanwil DJP Jabar III. Kalau masuk lebih dalam, apakah manufaktur ini wajib pajaknya benar-benar domisili atau hanya lokasi?
Ternyata betul sektor manufaktur tapi kalau di breakdown pajaknya kebanyakan withholding tax seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan segala macam. Banyak wajib pajak di sini yang merupakan wajib pajak LTO, Kanwil DJP Jakarta Khusus, KPP PMA. Kami sedang berusaha untuk pilah lagi.
Di posisi kedua ada perdagangan dan ketiga ada real estate. Kemudian, ada jasa keuangan. Pada 2019 ke 2020 ini posisinya berubah lagi. Ternyata ada sektor yang di luar dugaan kita bisa survive.
Di beberapa KPP, ada jasa komunikasi yang naik karena kita punya wajib pajak itu. Ya mereka kan tidak terdampak, malah kena windfall. Jasa keuangan terutama asuransi juga naik. Jadi, kemungkinan pada 2020, sektor dominan akan geser lagi karena pandemi.
Apakah dapat dikatakan ada kemungkinan pergeseran sektor penyokong penerimaan ke depan?
Sektor dominan di kanwil ini ke depan tidak akan sama. Banyak terjadi pergeseran sehingga arah kebijakan akan berubah sesuai dengan kondisi ekonomi dan usaha wajib pajak. Ke depan, kami melihat sektor komunikasi ini, berkat perubahan perilaku masyarakat, pasti akan naik terus.
Dalam transaksi ke depan, orang akan banyak lewat daring karena terbiasa saat pandemi. Jadi transaksi e-commerce akan berkembang dan komunikasi ini kan supporting-nya e-commerce. Jasa kurir dan jasa pengiriman juga akan mengikuti. Kami akan fokus ke situ.
Sektor lain ada beberapa yang mau kolaps. Industri besar banyak yang melakukan PHK [pemutusan hubungan kerja]. Meski ada insentif, ternyata tidak membuat mereka survive. Namun, beberapa yang manufaktur itu ada yang bisa survive dan pengurangan pegawainya tidak terlalu banyak.
Tekstil dan produk tekstil (TPT) masih survive karena mereka mengalihkan usahanya dari garmen ke masker. Namun, bagaimanapun omzet mereka turun. At least mereka survive, bahkan mereka tetap ekspor. Kami koordinasikan dengan Bea Cukai. Jadi, kami tahu pergerakannya.
Bagaimana kondisi literasi dan kepatuhan wajib pajak di Kanwil DJP Jabar III?
Kepatuhan di Kanwil DJP Jabar III dibandingkan dengan rata-rata nasional rendah. Kami berusaha tingkatkan ini. Kami harus pahami kenapa mereka tidak patuh. Kami kaji dan evaluasi daerah mana dan di KPP mana. Hingga tingkat desa kami lihat. Itu prioritas kami.
Secara garis besar, di sini ada tiga KPP yang menyebabkan kepatuhan di Kanwil DJP Jabar III rendah. Tiga KPP ini ada di Kabupaten Bogor semua, yaitu KPP Pratama Ciawi, KPP Pratama Cibinong, dan KPP Pratama Cileungsi.
Jadi fokus saya. Tiga KPP ini kami pelajari kok [kepatuhannya] rendah. Ternyata memang tiga KPP wilayahnya yang paling luas. Setelah kita lihat ternyata jarak antara KPP dengan wajib pajak itu jauh. Wajib pajak, untuk mengantar SPT, itu effort-nya besar sekali karena jauh.
Memang semua serba digital. Tapi jangan lupa, wajib pajak yang jauh itu kadang sinyalnya susah. Belum lagi ada problem enggak punya kuota. Ini kami pahami. Kami coba agar jangkauan lebih dekat. Kami clustering di mana sentra wajib pajak yang jauh dari KPP. Kami bikin pos layanan pajak.
Terkat dengan mitigasi dampak pandemi Covid-19, langkah apa yang akan diambil?
Kami lihat dulu sektor mana yang survive dan wajib pajaknya apa saja. Kalau wajib pajak itu tidak ikut tax amnesty, kami coba lihat apakah dia sudah benar apa belum dalam melaksanakan kewajiban. Kalau belum, kami imbau. Jadi kami lihat data. Kami minta mereka melakukan pembetulan SPT.
Kami tidak akan melakukan pemeriksaan sementara ini karena kasihan kan. Untuk wajib pajak yang tidak berdampak, bahkan berkembang, seperti komunikasi, transportasi, kami agak keras. Maksudnya, kami imbau jangan sampai bolong masuk penyampaian SPT-nya.
Kami imbau jangan sampai tidak lapor. Pajak ini bukan untuk membunuh usaha. Jadi, kami harus pandai-pandai dan bijaksana, mana yang di-extra effort dan mana yang didampingi agar survive.
Penerimaan kita per Juli sudah 40% target. Walaupun tumbuhnya -9,5%, at least jangan sampai -10%. Sesuai prediksi memang minus, tapi jangan sampai minus lebih dalam dari ekonomi. Kami juga ada cadangan, yakni usaha yang survive tapi belum melakukan kewajibannya Ini kami imbau.
Bagaimana animo wajib pajak dalam memanfaatkan fasilitas pajak, terutama PPh final UMKM DTP?
Dari database omzet, ada 68.000 wajib pajak UMKM. Ada hampir 7.000 wajib pajakk yang memanfaatkan fasilitas PPh Final UMKM DTP. Artinya, banyak yang sudah tahu. Sebelumnya, saya minta KPP mendekati lurah. Biasanya ada sentranya. Jadi, satu kelurahan itu di situ semua usahanya.
Kalau dilihat dari angka yang memanfaatkan PPh final UMKM DTP ini, ada animo besar. Mungkin akan bertambah besar kalau kami ajak masuk. Ada beberapa mungkin takut dan tidak paham, ini saya dorong dan semoga bisa bertambah yang mengajukan permohonan.
Ini insentif PPh final diharap bisa membantu mereka karena kemarin kan terpuruk. Sekitar dua hingga tiga bulan ini enggak ada yang jajan, enggak ada yang belanja. Barang primer saja mereka berusaha penuhi secara mandiri di rumah.
Untuk stimulus pengurangan angsuran PPh Pasal 25, total di kanwil kami yang mendapatkan sudah 1.707 wajib pajak, yang ditolak 391 wajib pajak. Mungkin orang bukan enggak mau ambil yang 30%.
Mungkin gambaran mereka, meski bisa dapat insentif, tetap enggak nutut karena mungkin drop sekali usahanya. Jadi, petugas pajak minta pun, mereka enggak bisa bayar. Jadi lebih baik enggak minta dan tidak bayar sekalipun.
Jadi jangan dibayangkan mereka tidak ambil karena tidak tertarik atau tidak paham. Kondisi wajib pajak bisa jadi drop sekali sehingga bayar 70% pun enggak sanggup. Ini yang sekarang kita coba pilah-pilah. Apakah benar KLU [klasifikasi lapangan usaha] yang seharusnya minta kok enggak minta?
Kalau yang PKP [pengusaha kena pajak], kami lihat aktivitasnya di faktur pajak. Kalau enggak, ya sudah mau diapain? Kami juga mikir-mikir mau nerbitin STP. Jadi, saya tidak akan minta STP dulu. Kami lihat pergerakannya. Jadi, jangan disalahkan wajib pajaknya dulu.
Dalam proses bisnis, apakah ada kelemahan yang muncul akibat Covid-19 dan menjadi dasar perbaikan di masa mendatang?
Akibat Covid-19 ini, banyak pelayanan yang harusnya bisa enggak tatap muka menjadi kelihatan. Tenaga di frontliner itu lebih bisa melayani yang betul-betul butuh, seperti konseling. Misal, kami melayani 500 orang sehari sebelum Covid-19. Karena Covid-19 ini banyak yang mutlak wajib online.
KPP kan baru buka pertengahan Juni. Artinya Maret sampai 15 Juni ternyata tetap bisa kok pelayanan lewat media online dan media sosial. Ini bisa diteruskan. Struktur terbesar yang kita layani adalah orang minta NPWP. Jadi, kita mengalihkan tenaga yang selama ini terkuras untuk wajib pajak.
Sekarang bisa kita dorong untuk pelayanan wajib pajak yang kesulitan . Pelayanan konseling, misalnya. Ini tenaganya diperbanyak. Alhamdulillah, dari Covid-19 ini, jadi ada sisi pemaksaan untuk menggunakan layanan online. Kami akan teruskan. Arahan kantor pusat juga begitu.
Kantor pajak sekarang sudah enggak kayak pasar. Sekarang di kantor lebih banyak di konseling pelayanannya. Ini sebetulnya yang kita harapkan dari e-Filling dan lain-lain itu. Sekarang semua pakai itu karena pandemi. Proses bisnis pelayanan memang berubah, tapi secara aturan sih tidak.
Bagaimana perkembangan pengawasan berbasis kewilayahan di Kanwil DJP Jabar III?
Ini memang reformasi perpajakan yang baru ya. Apakah hanya karena Covid-19 terus kami enggak berjalan? Kami tetap jalan. Pengawasan berbasis kewilayahan ini kan mengubah penugasan.
Awalnya, menugaskan AR [account representative] secara sektoral agar mudah karena wajib pajaknya seragam. Namun, ternyata ini tidak efektif. Waktu mereka visit, wajib pajaknya tersebar. Jadi, sekarang dirapikan agar jangkauan AR ini bisa mencapai seluruh wajib pajak.
Dulu kan ada berbasis wilayah dan sektor. Sekarang, [berbasis] wilayah dan wajib pajak strategis. Wajib pajak strategis ada di Waskon II, sedangkan wilayah ada di Waskon II, III, IV dan Seksi Ekstensifikasi. Ini karena Seksi Ekstensifikasi tugasnya sama sekarang dengan Waskon sekarang.
Sambil visit, pemahaman mereka atas wajib pajak dan potensi di wilayah juga menjadi kewajiban mereka. Mereka akan lebih tahu karena visitnya disitu-situ saja. Dengan visit di situ, mereka bisa dengan mudah merencanakan kegiatan pengawasan dan ekstensifikasi.
AR bisa dapat Kecamatan A dan ini tidak perlu ke Kecamatan B. Mereka cukup hubungi camat atau lurah untuk melihat izin yang terbit hingga daftar warga. Dari situ, mereka bikin peta jalan.Ketika mau jalan, mereka bisa menghitung sekali jalan bisa dapat berapa wajib pajak.
Itu tetap jalan dan enggak berhenti. Lewat Google Maps juga bisa. Toh kalau jalan, ya jalan saja enggak papa. Kalau jalan doang waktu PSBB kan enggak masalah. Yang penting enggak mampir ngobrol-ngobrol.
Untuk mengeksekusi ini, kami lihat-lihat. Bisa jadi sudah tutup dan sebagainya, tapi sudah jalan. Justru saya lihat di tengah Covid-19 ini kesempatan mereka jalan. Meski WFH [work from home] kan tetap kerja. Yang penting enggak ke kantor. Keliling wilayah terus balik ke rumah itu boleh.
Kanwil DJP Jabar III rencananya bakal memiliki KPP Madya baru. Seperti apa persiapannya?
Kami ini satu-satunya kanwil yang habis dapat KPP Madya baru, disuruh bikin lagi. Sekarang agak beda. Kalau dulu ada KPP Madya baru, KPP bertambah. Sekarang, KPP Pratama-nya berkurang karena diputuskan tengah tahun dan belum banyak keluar anggaran untuk sarana-prasarana.
Jadi, harus ada satu KPP Pratama yang dilikuidasi, lalu ada KPP Madya baru. Semula, KPP Pratama yang mau dilikuidasi KPP Pratama Ciawi. Itu saya enggak setuju. Ini kan yang tadi termasuk KPP Kabupaten Bogor. Kalau dilikuidasi dan Kabupaten Bogor tinggal dua KPP, akan kewalahan.
Sementara, Kabupaten Bogor ini potensinya besar untuk industri dan pariwisata agro. Kalau cuma dua KPP ini nanti repot. Mau pegawai berapa banyak juga enggak akan mampu dengan wilayah seluas itu. Kepatuhan akan turun.
Alasan kedua, kalau KPP Pratama Ciawi dilebur, KPP Madya baru ini ada di KPP Pratama Ciawi. Artinya dua KPP Madya ada di Bogor. Sementara, wajib pajak potensial ada di Bekasi, kan jauh. Akhirnya saya putuskan KPP Pratama Ciawi tidak dilikuidasi, tapi KPP Pratama Bekasi Selatan.
Mengapa?
Kalau KPP Pratama Bekasi Selatan yang dilikuidasi, wilayah KPP Pratama Bekasi Selatan saya bagi ke 3 KPP, yakni KPP Pratama Bekasi Utara, KPP Pratama Pondok Gede, dan KPP Pratama Bekasi Barat. Dengan ini, mereka tidak kewalahan. Kebetulan semuanya hanya Kota Bekasi.
Nanti nama KPP Madya barunya KPP Madya Kota Bekasi. Wajib pajak strategisnya terbagi dua, yakni Bekasi dan Depok-Bogor. Jadi nanti wajib pajak strategis Depok-Bogor itu di KPP Madya Bogor, wajib pajak strategis Bekasi di KPP Madya Kota Bekasi. Jadi jangkauannya enggak capek.
Bagaimana yang sudah terdaftar di KPP Madya Bogor tapi posisinya di Bekasi? Kita tidak secara jabatan memindahkan mereka. Kita beri pilihan apakah mereka ingin terdaftar di KPP Madya Bekasi atau di Bogor. Ada 100-an wajib pajak yang memilih ke Bekasi, ada yang tetap di Bogor.
KPP Madya Kota Bekasi ini akan segera diluncurkan, yang perlu kita siapkan adalah pemindahan berkas buat mereka yang ingin pindah ke Bekasi. Saat diluncurkan nanti tidak akan ada delay. 6 KPP sudah bersiap.
Wajib pajak dari Depok dan Bogor ini juga ada yang naik ke KPP Madya. Ini sudah kami tentukan wajib pajaknya. Jadi, teman-teman sudah menyiapkan. Sudah dicicil sehingga ketika pindah nanti enggak akan repot.
Pemerintah telah menurunkan tarif PPh badan. Apakah ini akan berdampak pada upaya pengamanan target penerimaan?
Menurut saya, penurunan tarif PPh badan jangan terlalu dilihat sebagai sesuatu yang membuat pajak hilang. Jangan lupa, di belakang ada efek lanjutan, ada benefit. Tarif pajak itu, kalau kita ingin investasi masuk maka harus bersaing.
Corporate tax ini meski bukan pertimbangan utama, dia tetap jadi salah satu penentu. Kalau yang investasi jasa dan perdagangan otomatis yang dilihat pertama adalah tarif corporate karena dia enggak butuh faktor produksi. Kalau berkaca ke Singapura, apa dia punya manufaktur? Enggak ada.
Mereka punya kantor tapi pabriknya di kita. Setoran pajaknya di sana tapi pabriknya di kita. Kami ingin ubah itu. Withholding tax untuk yang lintas negara kita sudah bersaing karena kita sudah ada P3B.
Kalau diturunkan memang ada potensial loss tapi itu hanya sesaat. Mengapa sesaat? Karena tahun depan, dengan menghemat pajak, dia bisa jadi modal kerja atau perluasan usaha. Ini grup-grup usaha kan bisa mendirikan distribusi.
Itu yang kami harapkan. Kalau investasi kan menyerap tenaga kerja dan akan menghasilkan penghasilan dan pajak juga di PPh Pasal 21. Jadi impact-nya banyak, jangan dilihat sesaat. (Kaw/Bsi)