Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.
REFORMASI perpajakan jilid III masih berjalan. Proses yang dimulai pada 2017 ini berlangsung hingga 2020. Hingga akhir 2019, belum ada satupun revisi undang-undang perpajakan yang disahkan. Dalam situasi ini, pemerintah berencana menerbitkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Dalam RUU tersebut, pemerintah berencana mengambil beberapa poin prioritas pada berbagai undang-undang untuk penguatan ekonomi. Salah satunya adalah janji penurunan tarif PPh badan yang disampaikan Presiden Jokowi.
InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) mewawancarai Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun untuk mengetahui pandangannya tentang perkembangan reformasi perpajakan dan rencana omnibus law yang akan diajukan pemerintah. Berikut kutipannya:
Apa pendapat Anda terhadap reformasi perpajakan yang dijalankan pemerintah?
Saya tidak melihat reformasi itu bisa menyentuh hal-hal yang fundamental. Kalau kita bicara pembayar pajak, banyak keluhan yang masuk soal pemeriksaan. Pelayanan terhadap dispute atas aturan memang mau tidak mau, tolak ukurnya tidak wajib pajak saja, tetapi juga bagaimana petugas pajak dalam melaksanakan pekerjaan.
Sudah banyak perbaikan yang dilakukan dalam sistem dan prosedur, di mana petugas itu harus dikontrol dengan sangat ketat untuk menjalankan aturan dengan sangat baik. Dengan demikian, bisa terhindarkan adanya persekongkolan antara petugas pajak dan para wajib pajak. Kalau dari sisi ini saya lihat reformasi ini sangat bagus di DJP.
Hal fundamental apa yang Anda maksud?
Contoh sederhananya, orang berbicara soal penurunan tarif pajak lalu takut akan turunnya penerimaan. Sekarang ini, kalau kita mau bicara pajak sebagai instrumen regulatory mau tidak mau harus dibuatkan kajiannya. Karena apa? Kita selama ini hanya bicara pajak dari sisi fungsi budgetair atau mengisi kas negara untuk membiayai pembangunan.
Hal yang paling menentukan, jangan sampai reformasi yang sedang dijalankan ini hanya dilihat dari tolok ukur penerimaan semata. Kalau pada 2019 tidak tercapai kembali target penerimaan pajaknya, maka sudah 10 tahun DJP mengulang hal itu. Nah, pertanyaannya, kalau dilihat dari sisi itu, reformasi pajak itu sudah menyentuh apa?
Pertanyaannya, realistis atau enggak target pajak yang dibuat? Harus ada keberanian orang menyampaikan bahwa target pajak kita makin lama sudah makin tidak realistis untuk dicapai. Apapun metodologi reformasi yang dijalankan dalam mencapai target penerimaan pajak, ternyata yang jadi masalah bukan reformasinya, tapi targetnya. Kita harus fair menilai target pajak kita itu sudah tidak rasional untuk dicapai.
Kalau bicara tentang target yang tidak realistis, apakah kemudian kita pernah melakukan evaluasi secara mendalam terhadap sistem pajak kita? Dari dulu saya selalu bicara, sistem worldwide itu perlu dievaluasi. Sama juga ketika kita bicara tentang self-assessment. Kita ini rezimnya self-assessment dan worldwide income, tapi withholding tax-nya sudah banyak.
Artinya?
Kalau kita bicara self-assessment, itu orang menghitung dan melapor jumlah pajak yang terutang menurut mereka. Pemeriksaan itu hanya sebagai alat uji kepatuhan. Ini karena sistem self-assessment berprinsip semua wajib pajak dianggap benar kecuali ada bukti lain yang membuktikan bahwa dia tidak benar. Nah, salah satu alat ukurnya adalah pemeriksaan.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Intensifikasi dalam bentuk pemeriksaan itu menjadi salah satu target penerimaan. Ini berarti sudah ada yang melenceng. Apalagi, ditambah dengan withholding tax yang makin banyak. Pajak itu sudah tidak dikenakan atas untung yang dia dapatkan, tapi pada aktivitas bisnis yang dia jalankan. Ini sudah tidak benar menurut prinsip. Prinsip inilah yang mau tidak mau harus dibicarakan dalam sistem reformasi kita. Apakah reformasi kita itu termasuk mengkaji sistem yang kita anut? Ini penting.
Adakah hal fundamental lain?
Kalau kita bicara PPN itu kan atas pertambahan nilai setiap barang baik jalur produksi maupun jalur penyerahan. Apa yang terjadi? produk domestik bruto kita Rp14.827 triliun tapi penerimaan PPN kita Rp600-an triliun. Padahal, seharusnya menurut teori di atas Rp1.000 triliun karena tarif 10%. Ini pernah dikaji atau tidak dalam reformasi perpajakan kita? Menurut saya, objek pembahasan reformasi perpajakan itu harus mencakup hal-hal yang mendasar seperti itu.
Dalam situasi itu, pemerintah menyodorkan wacana omnibus law. Komentar Anda?
Kita menyambut positif keinginan pemerintah untuk melakukan perbaikan iklim investasi. Ya, kita harus mengakui banyak tumpang tindih aturan antara pemerintah pusat dan daerah. Kalau dari sisi perpajakan, saya belum tahu mana yang tumpang tindih dari sisi pemerintah pusat dan daerah.
Kalau kita lihat rencana omnibus law, harus kita sadari sepenuhnya bahwa PPh dan PPN itu tidak mungkin dilakukan upaya penggabungan baik subjek maupun objek karena jenis pajaknya sudah berbeda. Satu pajak langsung, satunya pajak tidak langsung. Satu berkaitan dengan penghasilan, satu lagi berkaitan dengan konsumsi dan daya beli. Ini kan tidak mungkin disatukan. Kalau sistem perpajakan dan pemeriksaannya selama ini sudah dipisah di Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Yang satunya berkaitan mengenai subjek-objek, yang satunya berkaitan dengan sistem, prosedur, dan tata cara. Itu sudah diatur. Kalau kemudian mau disatukan, ya saya tinggal menunggu idenya pemerintah soal omnibus law itu apa. Ini karena undang-undang kita mengenai tata cara pembentukan undang-undang, semua undang-undang itu sederajat. Tidak boleh ada undang-undang yang mengatur undang-undang yang lain karena prinsip pembentukan undang-undang kita itu adalah melalui mekanisme sinkronisasi dan harmonisasi.
Ada pula prinsip lex specialis derogat legi generali. Makanya, kalau kemudian mau diharmonisasi atau disinkronisasi dengan pajak daerah, yang bisa mengatur undang-undang itu hanya konstitusi kita, yaitu UUD 1945. Tata cara kita memungut pajak itu disebutkan di Pasal 23 UUD 1945, pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang. Sementara, di Pasal 10 UUD 1945 diatur mengenai pemerintah daerah yang menyebutkan ada kewenangan pemerintah daerah, termasuk hak keuangannya.
Spirit dan semangat dari pemerintah untuk melakukan terobosan dengan mencari penyederhanaan aturan perundang-undangan itu luar biasa. Namun, jangan sampai kemudian melanggar tata cara kita bernegara sesuai dengan UUD 1945 dan yang telah diimplementasikan di dalam undang-undang yang sudah ada.
Artinya ide dan isinya sudah tepat, tapi bermasalah dari sisi hukum?
Kita tidak melihat masalahnya karena kita memang ingin harus ada jalan keluar. Negara ini lahir berdasarkan kesepakatan. Kalau kita menghadapi suatu situasi dan semangat yang ingin mengubah situasi yang ada kan harus selesaikan. Jalan keluarnya ya dengan politik. Ini karena politik itu enggak ada jalan buntunya. Yang penting ada tatakan hukum dan konstitusi yang disiapkan, sehingga semuanya bisa dijadikan landasan pembentukan undang-undang tanpa melanggar konstitusi dan aturan yang ada.
Rencana omnibus law pajak itu apakah sudah sesuai dengan masalah yang seharusnya diatasi?
Saya tidak mau memberikan komentar sebelum pemerintah membawa hal yang substansial dan konkret ke DPR. Contoh sederhananya, terhadap pajak masukan yang ditemukan pada saat pemeriksaan dapat dikreditkan 80%. Ini maksudnya apa? Kalau aturan ini diterapkan justru akan merusak sistem pajak.
Contoh sederhananya, dia bukan PKP [pengusaha kena pajak] boleh mengkreditkan pajak masukan, bagimana ceritanya? Dikreditkan pada tingkat apa? Orang baru bisa mengkreditkan itu melalui mekanisme PM-PK [pajak masukan-pajak keluaran] dan harus terdaftar sebagai pengusaha kena pajak. Nah, kalau pajak masukannya ditemukan pada saat pemeriksaan kemudian dikreditkan, berarti pemeriksa boleh melakukan koreksi positif. Kita mau memperbaiki sistem tapi kok malah merusak sistem.
Saya sangat setuju perbaikan pelayanan kepada wajib pajak. Namun, apakah ini menjadi substansi? Nanti sistem pemungutan pajak kita yang rusak. Wajib pajak juga belum tentu mau dengan sistem ini.
Apa yang lebih substansial?
Justru yang paling menarik itu adalah sistem keberatan kita yang harus diperbaiki. Apakah cukup adil sistem keberatan kita itu? Begitu pemeriksaan, keberatan tetap ada di DJP? Kita cuma punya pengadilan tingkat pertama, langsung keberatan, isinya banding, langsung PK [peninjauan kembali]. Pajak dapat pengecualian luar biasa dalam sistem hukum kita. Untuk mendapatkan keadilan dari sisi pajak itu rumit bagi seorang wajib pajak. Ini mengapa enggak disentuh dalam omnibus law?
Simak wawancara Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)