Ilustrasi (icoservices.com)
JAUH sebelum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan terbit, niscaya ada banyak orang meyakini bahwa sebetulnya tinggal masalah waktu bagi Indonesia untuk mengakhiri rezim kerahasiaan bank.
Hal ini pararel dengan keyakinan bahwa cepat atau lambat DJP akan punya wewenang dan kedudukan setara kementerian; penyidik pajak akan dibekali pistol; pidana pajak akan diperluas ke badan dengan denda lebih besar; dan akan ada sistem tunggal yang mengintegrasikan data keuangan-nonkeuangan.
Daftar keyakinan itu bisa bertambah, terutama dari jurusan lain: Komwas Pajak akan berkedudukan di bawah Presiden dengan wewenang eksekutorial; hak-hak pembayar pajak akan diperkuat dan dijamin; kedudukan Pengadilan Pajak akan di bawah MA; dan BPK akan dengan mudah memeriksa SPT Pajak.
Juga dari jurusan ini: Jawaban DJP atas permohonan restitusi maksimal 120 hari; Jawaban pengajuan keberatan maksimal 120 hari; ada penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pengajuan keberatan dan banding tidak menunda penagihan, tapi tanpa ancaman sanksi dan syarat membayar; dan seterusnya.
Kenapa semua itu hanya soal waktu, tidak lain karena pada titik tertentu para pengampu kepentingan tak kuasa lagi membendung seraya mengingkari, bahwa perubahan situasi di dalam dan di luar negeri dalam 20 tahun terakhir ini telah menghadirkan sekaligus mendesakkan berbagai persoalan tersebut.
Kita melihat dengan terang bagaimana tax ratio kita terus menurun justru setelah Paket UU Pajak 2007-2008 diberlakukan. Kita melihat jelas bagaimana di berbagai negara rezim kerahasiaan bank ditinggalkan. Kita juga lihat betapa single identity number yang dulu dikubur kini mau dibangkitkan.
Perppu No.1 Tahun 2017 yang niscaya akan menggenjot penerimaan pajak ini mempertemukan sedikitnya dua kepentingan praktis yang tak terhindarkan alias memang tak ada pilihan. Pertama, kepentingan menjaga kredibilitas RI di mata internasional. Kedua, kepentingan Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019.
Kepentingan yang pertama rasanya sudah jelas. Kepentingan yang kedua mungkin masih agak samar. Tapi argumentasi ini rasanya sulit dibantah, yaitu bahwa senjata paling ampuh bagi Presiden Jokowi untuk memenangi hati rakyat pada Pemilu 2019 tidak lain dan tidak bukan adalah infrastruktur.
Rakyat yang tinggal di Kelapa Gading, Menteng, atau Wijaya di Ibu Kota boleh jadi tidak menyadari keampuhan strategi yang bertumpu pada belanja infrastruktur listrik, jalan dan jalan tol, pelabuhan, serta bendungan dan irigasi itu. Maklum, rakyat di daerah itu sudah ‘kekenyangan’ infrastruktur.
Tapi bayangkan jutaan rakyat yang tinggal dari Sabang sampai Bakauheni yang listrik di rumahnya, termasuk listrik di toko tempat usahanya byar pet terus. Bayangkan jutaan petani di Sulawesi dan Nusa Tenggara yang hanya kadang-kadang saja bisa panen 3 kali setahun, selebihnya 2 kali.
Lihat apa yang akan terjadi di Papua pada 2019, jika 2 tahun setelah pemerintah memangkas dan menyamakan harga bensin, lantas ada jalan dan pelabuhan. Mungkin, jika pada Pemilu 2014 di Papua kemenangan Jokowi lebih karena faktor negatif lawannya, pada Pemilu 2019 ceritanya pasti berbeda.
Bukan kebetulan jika semua proyek infrastruktur itu ditarget selesai awal 2019. Presiden niscaya belum lupa dengan bencana fiskal yang diakibatkannya ketika untuk menghadirkan senjata ampuhnya itu, pada 2014-2015 ia nekat menciptakan ruang fiskal dari dua sisi sekaligus, memangkas subsidi dan menaikkan target pajak.
Perppu ini, termasuk dibukanya pintu kerja sama lebih lebar bagi swasta dan asing untuk membiayai proyek infrastruktur, adalah rangkaian instrumen yang selain berfungsi untuk menghadirkan senjata ampuh tadi, juga sekaligus untuk memitigasi timbulnya bencana fiskal akibat terlalu banyak menarik utang guna membiayai belanja infrastruktur.
Tentu Perppu ini layak diapresiasi. Silakan klaim ia sebagai bagian dari reformasi pajak. Kita boleh puji isinya, mulai dari sinkronisasi hukum yang sulit diselesaikan, progresivitas hukum berupa pidana badan, serta lebih intensnya kewajiban penyetoran data keuangan—seraya melupakan Surat No. S-106/PJ/2017.
Namun, jelas bukan klaim atau pujian itu yang membuat kita bisa jernih menjelaskan, bahwa perbaikan perpajakan negara ini sebenarnya hanya masalah waktu, saat berbagai kepentingan sudah bertemu. Sampai di sini, matematika politiknya jelas tidak masuk bagi DPR untuk menolak Perppu tersebut.
Karena itu, perkara yang tersisa kini tinggal bagaimana Kemenkeu dan DJP melaksanakan Perppu tersebut guna menggenjot penerimaan, sekaligus memanfaatkan momentum bertemunya bermacam kepentingan dengan mewujudkan berbagai keyakinan yang tinggal masalah waktu tadi. Semoga!*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.