Managing Partner DDTC David Hamzah Damian memberikan paparannya dalam Capacity Building of Civil Society Organisations in Asia for an Effective Advocacy on the UN Tax Convention di Bangkok, Thailand, Kamis (13/3/2025).
BANGKOK, DDTCNews - Diskursus mengenai isu pajak internasional berkembang dengan sangat cepat dan dinamis dalam 1 dekade terakhir. Semua pihak, termasuk masyarakat sipil, dinilai perlu ikut memahami dinamika yang terjadi.
Mengapa perlu? Imbas dari berbagai kebijakan pajak internasional juga akan merambat ke Tanah Air. Pada akhirnya, wajib pajak di Tanah Air sedikit banyak ikut merasakan dampaknya.
Guna membahas urgensi pemahaman isu pajak internasional terhadap masyarakat sipil, beberapa organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO) menggelar capacity building dengan menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten di bidang pajak. Kegiatan ini berlangsung di Bangkok, Thailand, pada 13-14 Maret 2025.
Salah satu pakar yang turut hadir adalah Managing Partner of DDTC Consulting David Hamzah Damian. Di hadapan peserta capacity building, David membagikan pemikiran dan ilmunya mengenai dinamika isu pajak internasional yang kini terjadi.
Seperti diketahui, isu mengenai penghindaran pajak oleh perusahaan-perusahaan multinasional merupakan pembahasan lawas yang belum usai hingga saat ini. Laporan Tax Justice Network pada 2024 menyebutkan negara-negara kehilangan US$492 miliar setiap tahunnya akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan individu kaya.
Dalam pengantarnya, David menjelaskan bahwa kedaulatan pajak bagi suatu negara untuk mengatur sistem perpajakannya secara mandiri bisa berujung pada persaingan pajak. Konsekuensinya, bermunculan negara tax haven, perang tarif, dan hak mengenakan pajak yang berorientasi pada domestic resource mobilization.
"Persaingan pajak selama ini dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional melalui perencanaan, penghindaran, atau bahkan penggelapan pajak yang berakibat tergerusnya basis pajak dan terjadinya pengalihan laba," kata David.
Sebagai respons atas situasi tersebut, OECD menginisiasi sebuah kesepakatan pajak global berjuluk G-20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Langkah ini juga menghasilkan Solusi 2 Pilar (Two Pillar Solution).
Hanya saja, efektivitas G-20 Inclusive Framework on BEPS untuk memberikan manfaat optimal bagi negara-negara berpenghasilan rendah melalui Solusi Pilar 2 masih dipertanyakan.
Dalam perjalanan menghasilkan kebijakan tersebut, banyak pihak yang mengkritisi proses penyusunan Solusi 2 Pilar yang sejatinya tidak bersifat inklusif.
"Mulai dari tenggat waktu memberikan respons terhadap suatu draf, atau sistem pengambilan suara yang tidak demokratis," kata David.
Kebijakan yang dihasilkan oleh OECD G-20 Inclusive Framework on BEPS, khususnya Pilar 1 dan 2, dinilai oleh akademisi dan pemerhati pajak internasional sebagai kebijakan yang terlalu pro negara ekonomi maju. Susunan kebijakan tersebut juga dianggap kurang mengakomodasi kepentingan negara ekonomi rendah.
Kritik lain terhadap Solusi 2 Pilar adalah mekanisme kerjanya yang begitu kompleks. Hal ini dikhawatirkan tidak sebanding dengan manfaat yang diterima oleh negara ekonomi rendah.
"Manfaat yang diterima suatu negara dari penerapan Pilar 1 dan 2 pun tidak pernah jelas disebutkan OECD. Akibatnya, negara yang menerapkan tidak bisa mempertimbangkan potensi secara akurat terhadap penerimaan negara," kata David.
Menyusul banyaknya tidak kepuasan terhadap proses dan implementasi G-20 Inclusive Framework on BEPS, sekelompok negara berinisiatif untuk menyusun wadah baru yang lebih aplikatif bagi ekonomi mereka.
Akhirnya, komite ad hoc yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menyetujui terms of reference (ToR) mengenai pembentukan Konvensi Pajak PBB atau United Nations (UN) Tax Convention. Kehadiran UN Tax Convention akan menciptakan kerja sama perpajakan global yang inklusif dan mampu mendukung upaya domestic resource mobilization (DRM).
UN Tax Convention bertujuan untuk memastikan grup perusahaan multinasional membayar pajaknya secara adil di manapun grup perusahaan multinasional tersebut beroperasi.
Kerja sama pajak dari UN Tax Convention ditargetkan mampu memberikan tambahan penerimaan bagi semua negara, utamanya negara berkembang. Dana yang terkumpul akan digunakan oleh negara-negara untuk memenuhi kebutuhan pembangunannya masing-masing.
"Capacity building ini bertujuan meningkatkan kapasitas CSO dalam mengamati isu-isu penting seputar pajak internasional, khususnya tentang UN Tax Convention," ujar David dalam paparannya.
Lantas apa kaitannya dengan CSO? David menjelaskan bahwa dalam perencanaan UN Tax Convention, peranan CSO menjadi sangat penting untuk memberikan saran serta mengawal melalui perwakilan di PBB. Melalui PBB, suara negara-negara ekonomi rendah akan didengar secara musyawarah, bukan sekadar pemungutan suara.
"CSO dapat mengadvokasi pentingnya suatu analisis terhadap proposal UN Framework Convention atau dampaknya terhadap perpajakan di negaranya," kata David.
Sebagai informasi, capacity building ini digelar oleh sejumlah CSO, antara lain LDC Watch, South Asia Alliance for Poverty Eradication (SAAPE), The PRAKARSA, dan Oxfam in Asia.
Narasumber dalam capacity building, dari kiri ke kanan: Executive Director of The PRAKARSA Ah Maftuchan, SAAPE Core Committee Member Nalini Rathnarajah, National Confederation of Dalit and Adivasi Organisations (NACDAOR) Ashok Kumar Bharti, Managing Partner of DDTC Consulting David Hamzah Damian, NACDAOR Sumedha Bodh, dan Global Coordinator of LDC Watch Arjun Kumar Karki.
Sejumlah CSO tersebut selama ini juga telah secara aktif menyuarakan isu mengenai penyalahgunaan pajak dan aliran keuangan gelap di level PBB. Organisasi masyarakat sipil tersebut juga telah menyampaikan tanggapan kepada Komite Ad Hoc mengenai kerangka acuan UN Tax Convention. (sap)