Editor DDTCNews Awwaliatul Mukarromah berfoto bersama Profesor di Harvard Kennedy School Jay K. Rosengard dalam Global Tax Policy Conference 2019, Dublin Castle, Irlandia, 22-24 Mei 2019. (Foto: DDTCNews)
DUBLIN, DDTCNews – Pada 22-24 Mei 2019 lalu, Harvard Kennedy School dan Irish Tax Institute menggelar Global Tax Policy Conference 2019 dengan tema besar ‘Driving the Future’ bertempat di Dublin Castle, Dublin, Irlandia. Dua delegasi DDTC, Khisi Armaya Dhora dan Awwaliatul Mukarromah, berkesempatan hadir dalam acara konferensi tersebut.
Secara keseluruhan, acara ini dihadiri oleh sekitar 300 delegasi dari berbagai negara. Selain itu, 31 pakar pajak dari berbagai institusi, mulai dari pembuat kebijakan, legislator, anggota pemerintahan, kementerian keuangan, otoritas pajak, organisasi internasional (seperti OECD, Komisi Eropa, dan IMF) hingga profesional pajak, hadir sebagai panelis.
Acara konferensi ini dibuka oleh Jay K. Rosengard, profesor dari Harvard Kennedy School dan Presiden Irish Tax Institute Marie Bradley. Tak hanya itu, Menteri Keuangan Irlandia Paschal Donohoe hadir untuk menyampaikan pidato terkait kebijakan pajak Irlandia, khususnya yang terkait dengan proyek base erosion and profit shifting (BEPS) OECD/G20. Pidato tersebut dianggap sebagai pidato kebijakan pajak paling substansial yang pernah disampaikan Menteri Keuangan Irlandia dalam 30 tahun terakhir.
Diskusi panel dalam konferensi ini terbagi ke dalam beberapa sesi dengan topik yang berbeda, namun saling terkait satu sama lain. Adapun topik-topik yang dibahas antara lain terkait reformasi pajak global dan BEPS, reformasi pajak Amerika Serikat (AS), pajak ekonomi digital, pajak dan kepabeanan dalam perdagangan internasional, transparansi pajak, dan transformasi sistem pajak di masa depan. Berikut penjelasan dari masing-masing topik diskusi di atas.
Perspektif Global Menuju 2020
Dalam pidatonya, Menteri Keuangan Irlandia Paschal Donohoe menyatakan masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai kesepakatan global terkait perubahan sistem pajak internasional, terutama dalam memajaki bisnis digital.
Paschal mengatakan Irlandia juga memiliki kepentingan yang sama, yakni ingin mempunyai sistem pajak internasional yang stabil dan berdasarkan konsensus global. Dia mengkritisi negara-negara yang menerapkan kebijakan pajak digital secara unilateral. Hal itu, menurutnya, justru ‘menghambat’ tercapainya kesepakatan global.
Paschal mengungkapkan tantangan yang dihadapi saat ini bersifat multilateral, sehingga solusi global yang bersifat jangka panjang adalah suatu hal yang dibutuhkan. Di samping itu, dia juga menegaskan Pemerintah Irlandia tidak mendukung adanya penerapan global minimum tax untuk perusahaan multinasional.
Irlandia merupakan salah satu negara yang menentang keras upaya Uni Eropa dalam memajaki perusahaan digital raksasa. Upaya ini juga ditentang Inggris, Prancis, Italia, dan Spanyol yang mengusulkan pajak digitalnya masing-masing. Pekan lalu, Senat Prancis menyetujui usulan tersebut.
Bert Zuijdendorp, salah satu pejabat tinggi di Komisi Eropa, mengatakan meskipun solusi global belum tercapai, namun risiko fragmentasi pasar tidak terlalu besar karena negara-negara tersebut menggunakan proposal yang diusulkan Uni Eropa sebagai model untuk menerapkan sistem pajak digital mereka sendiri. Hal itu juga mempersempit area divergensi antara negara-negara anggota Uni Eropa yang mengambil langkah unilateral.
David Bradbury, salah satu pejabat senior OECD, mengakui saat ini ada fragmentasi mengenai konsensus sistem pajak internasional yang mengarah pada semakin banyaknya negara yang melakukan tindakan sepihak atau aktivitas audit agresif.
Dia mengungkapkan OECD dan negara-negara yang terlibat dalam negosiasi pajak menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat. Pada dasarnya, masing-masing negara pun bebas untuk melakukan tindakan mereka sendiri, namun dia menyarankan akan lebih baik apabila semua pihak dapat menunggu proses negosiasi global rampung pada 2020 nanti.
OECD sedang mengerjakan dua ‘pilar’ sebagai bagian dari upaya reformasinya. Pilar pertama adalah mencari solusi untuk perpajakan dalam ekonomi digital, sedangkan yang kedua berfokus pada global minimun tax. Dalam pidatonya, Paschal mengatakan sebuah perjanjian kerja sama tidak boleh hanya menguntungkan negara-negara besar dengan mengorbankan negara-negara kecil.
“Saya tidak dan tidak akan mendukung langkah-langkah yang bertujuan mengakhiri kompetisi pajak yang sah,” tegasnya.
Dia menambahkan bahwa persaingan pajak adalah ‘alat yang sah’ bagi negara-negara kecil untuk bekerja melawan keunggulan geografi atau sumber daya yang dimiliki negara lain. Menurutnya, daya saing bukan hanya hak istimewa bagi ekonomi besar.
BEPS dan Reformasi Pajak
Dalam sesi ini, para panelis berbicara soal agenda reformasi pajak global dan reformasi pajak dari perspektif negara-negara tertentu. Jeffrey Owens, profesor dari WU Global Tax Policy Center menolak ide yang mengatakan fase lanjutan dari reformasi pajak global adalah ‘BEPS 2’. Menurutnya, realokasi hak pemajakan yang fair harus menjadi fokus OECD/G20 ke depan.
Dia juga memprediksi teknologi akan mengubah bagaimana pajak diadministrasikan. Dengan meningkatnya ‘power’ atau kekuasaan administrasi pajak, penghormatan terhadap kerahasiaan dan privasi juga perlu diperhatikan. Ke depan, desain sistem pajak yang baru harus berkesinambungan, mengatasi masalah ketimpangan (inequality) dan meningkatkan pendapatan pemerintah untuk memenuhi kontrak fiskalnya terhadap masyarakat.
Jane McCormick, praktisi dari KPMG Inggris, menyatakan semua pihak perlu menghela napas sejenak untuk mengukur posisinya saat ini, terutama dalam situasi proyek BEPS yang belum terimplementasi dengan sempurna. Hal ini penting agar setiap negara mengetahui apa masalah yang dihadapinya sebelum mengambil langkah perubahan atau reformasi pajak.
Salah satu perwakilan dari Kementerian Keuangan Filipina, Nina Asuncion, memaparkan bahwa saat ini negaranya lebih memprioritaskan agenda reformasi pajak di area domestik. Aspek pajak internasional belum menjadi agenda utama dikarenakan masih terbatasnya kapasitas otoritas pajak di Filipina.
Kemudian, Brian Ernewein dari Kementerian Keuangan Kanada, menyatakan bahwa negaranya patuh (compliant) terhadap aksi-aksi BEPS. Kanada mengikuti rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan OECD/G20. Kendati demikian, dia menekankan pentingnya kualitas data dan kebutuhan proses peer review OECD.
Pandangan menarik disampaikan oleh Jaila Kangave dari Institut of Development Studies, Universitas Sussex. Dia mencatat adanya performa yang buruk dari negara-negara non-OECD terkait dengan pajak penghasilan orang pribadi. Namun, Jaila mengilustrasikan suksesnya kinerja HNWI (High Net Worth Individual) Unit di Uganda dalam mengumpulkan pajak penghasilan dari orang-orang kaya.
Reformasi Pajak AS
Sebagaimana diketahui, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menurunkan tarif pajak perusahaan AS dari 35% menjadi 21% dan mengubah sistem pajak dari world wide tax system menjadi territorial tax system. Reformasi pajak besar-besaran yang dilakukan AS ini menjadi sorotan karena memberi berdampak besar terhadap perekenomian banyak negara di dunia.
Profesor dari Universitas Florida, Mindy Herzfeld, menyebut tindakan unilateral AS dapat memberikan pengaruh secara multilateral. Hal ini ditandai dengan berbagai reaksi yang diberikan oleh OECD dan negara-negara lainnya terhadap reformasi pajak AS. Dua instrumen yang ada dalam Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) AS berpotensi menjadi standar kebijakan pajak global di masa depan.
Kedua instrumen ini adalah tarif pajak minimum melalui aturan base erosion anti-abuse tax (BEAT) and the global intangible low-taxed income (GILTI). Secara tidak langsung, undang-undang pajak Negeri Paman Sam ini telah memberikan contoh untuk diikuti negara lain.
Pasca pemotongan tarif pajak yang diberlakukan di AS, OECD pun mengisyaratkan bahwa tarif pajak minimum global dapat digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan dilema memajaki ekonomi digital melalui laporan interim yang rencananya akan diterbitkan pada Juni 2019.
Secara sederhana, BEAT merupakan ketentuan pajak minimum dengan menerapkan tarif yang lebih rendah untuk memperluas basis pajak. Ini juga mencakup pembayaran tertentu yang diberikan kepada perusahaan asing yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan domestik AS.
Sementara, GILTI merupakan kategori penghasilan baru atas pendapatan controlled foreign company (CFC) dari perusahaan multinasional AS yang saat ini menjadi subjek pajak AS. Kategori penghasilan baru ini untuk mencegah perusahaan memindahkan aset tidak berwujud – seperti kekayaan intelektual – ke luar AS dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah atas kategori penghasilan yang termasuk GILTI.
Dalam sesi ini, Ruud de Mooij dari IMF mengatakan kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan perusahaan yang dilakukan AS bukanlah fenomena race to the bottom, melainkan race to the middle. Dia juga memaparkan paper terbaru IMF terkait perpajakan korporasi di era ekonomi global. Dalam paper tersebut, IMF menyatakan sistem pajak perusahaan internasional tengah berada di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Persoalan kompetisi pajak dan alokasi hak pemajakan antarnegara masih akan berlanjut.
Pendekatan Global Pajak Ekonomi Digital
Pemajakan ekonomi digital menjadi topik diskusi yang tak berujung. Proposal OECD yang direncanakan selesai pada 2020 diharapkan memberi solusi global dan memberikan hak pemajakan lebih besar untuk negara-negara pasar konsumen. Kendati demikian, banyak pihak yang pesimis konsensus global tersebut dapat tercapai mengingat berbedanya kebutuhan dari negara berkembang dan negara maju, serta negara ekonomi kecil dan besar.
Cath Atkins dari otoritas pajak Selandia Baru (Inland Revenue) berpendapat sistem pemajakan ekonomi digital harus meminimalisasi kompleksitas dan biaya kepatuhan, mudah diadministrasikan dan sulit untuk disalahgunakan, menggunakan pendekatan global dengan satu lapis pajak (one layer tax), serta memberi kepastian (certainty) terhadap penerimaan negara maupun wajib pajak.
Presiden CFE Tax Advisers Eropa Piergiorgio Valente mengatakan penerapan pajak ekonomi digital yang adil dan efektif menjadi urgensi bagi negara-negara di dunia. Untuk itu, menurutnya, segala tantangan yang muncul seharusnya diatasi dengan koordinasi secara internasional agar terhindar dari pengenaan pajak berganda atau berlapis. Solusi yang dicapai pun harus dapat diterima secara luas agar bisa diterapkan secara cepat dan efektif.
Tren Perdagangan, Pajak, dan Kepabeanan
Dalam sesi ini, para panelis lebih banyak berbicara tentang tren perdagangan di Uni Eropa dan kaitannya dengan pajak dan kepabeanan. Phillip Kermode, Direktur Kebijakan Kepabeanan Komisi Eropa, menguraikan apa saja yang menjadi prioritas Uni Eropa terkait kepabeanan.
Uni Eropa mencatat penerimaan kepabeanan sekitar 20 miliar euro dalam setahun. Meski bukan sumber penerimaan yang signifikan, tetapi kepabeanan tetap memiliki peran penting karena menyangkut dengan anggaran Uni Eropa. Simplifikasi peraturan kepabeanan menjadi salah satu agenda Uni Eropa dalam meningkatkan efektivitas perdagangan.
Selain itu, e-commerce telah menyebabkan meningkatnya transaksi impor ke Uni Eropa, khususnya atas paket-paket kecil. Hal ini memberi tantangan baru bagi petugas kepabeanan dalam hal pengawasan, seperti penghindaran pajak pertambahan nilai (PPN), distorsi kompetisi, dan risiko keamanan. Mulai 2021, otoritas kepabeanan akan memungut PPN atas paket e-commerce dan memberikan informasi ke otoritas pajak. Ketentuan lebih lanjut tengah disusun Komisi Eropa.
Robert Koopman, Ekonom Senior World Trade Organization (WTO), mengungkapkan peran tarif pajak dan kepabeanan dalam biaya perdagangan global tidak terlalu signifikan. Berdasarkan surveinya, tarif hanya berpengaruh rata-rata 8%, sementara sebagian besar biaya perdagangan global berasal dari ‘gravitasi ekonomi’ seperti teknologi, jarak, bahasa, infrastruktur, dan lainnya yang bisa mencapai 100% hingga 300%. Meski berperan kecil, peran pajak dan kepabeanan dalam mempengaruhi arus perdagangan internasional tetap ada dan di sanalah pemerintah dituntut untuk menyusun kebijakan tarif dan insentif yang tepat.
Adapun John Cullinane dari Chartered Institute of Taxation (CIOT) Inggris memaparkan pengaruh Brexit terhadap perdagangan di Uni Eropa. Dia memperkirakan rezim PPN di Inggris akan lebih rumit pasca-Brexit. Selain itu, di akhir, para panelis menyimpulkan perdagangan, pajak, dan ekonomi digital merupakan masalah yang kompleks dan saling terkait. Tidak ada solusi sederhana dan tindakan unilateral dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan yang ada.
Transparansi Pajak dan Pertukaran Data
Sesi panel mengenai pertukaran data dan transparansi pajak ini menghadirkan Dirjen Pajak Irlandia Niall Cody, pejabat otoritas pajak Inggris (HMRC) Tom Smith dan konsultan Baker McKenzie Abogados Jorge Narvaez-Hazfura. Niall memaparkan saat ini otoritas pajak Irlandia telah menerima data melalui automatic exchange of information (AEoI) dan permintaan (on request).
Menurutnya, berdasarkan data-data yang telah diterima, sebagian besar informasi melalui AEoI memiliki kualitas data yang tinggi. Namun, hal yang paling penting adalah bagaimana menganalisis dan menyisir data dalam jumlah besar tersebut. Otoritas pajak perlu memiliki sistem untuk meng-highlight data mana yang penting dan dibutuhkan.
Tanpa data yang tepat, sebagian besar aksi dalam proyek BEPS tidak akan berjalan sesuai ekspektasi. Semua otoritas pajak di dunia, lanjutnya, harus bergerak cepat untuk bertransformasi menjadi data-intelligent agencies.
Dalam era transparansi pajak, Tom dari HMRC mengungkapkan penting pula bagi otoritas pajak dalam mengedepankan kepercayaan (trust) dari wajib pajak bahwa data yang diiberikan terjamin kerahasiaannya. Hal yang sama juga ditegaskan Jorge, dengan jumlah data yang besar, otoritas pajak harus memastikan pengumpulan data dan sistem pertukaran menghormati hak privasi, kerahasiaan, dan perlindungan data wajib pajak.
Sebelumnya, informasi yang dikumpulkan otoritas pajak tidak sempurna dan seringkali tidak akurat. Adapun situasi saat ini, informasi elektronik secara massif tengah dikumpulkan namun masih belum terkontrol dan tersistem dengan baik. Ke depan, big data yang telah terintegrasi dengan baik diharapkan dapat digunakan secara efektif untuk mengatasi penggelapan pajak dan memperbaiki proses pemungutan pajak, yang menguntungkan bagi otoritas maupun wajib pajak.
Transformasi Sistem Pajak di Masa Mendatang
Dalam sesi panel terakhir, para pembicara berbicara mengenai problematika kebijakan pajak global terkini. Brian J. Arnold, Profesor Emeritus dari Canadian Tax Foundation dan Harvard Law School, menyatakan wacana perubahan sistem pajak internasional saat ini justru ‘membingungkan’ dan sulit diterapkan, salah satunya mengenai konsep penciptaan nilai (value creation).
Untuk itu, menurutnya, perubahan sistem pajak internasional harus tetap berpijak pada prinsip dasar yang telah dibangun OECD dan PBB sejak 1920-an, bahwa penghasilan harus dipajaki sekali saja dengan menerapkan prinsip negara sumber dan negara domisili yang tertuang dalam peraturan domestik dan tax treaty.
Brian bahkan menyebut ‘where value is created’ sebagai mantra yang sia-sia (meaningless mantra) dan konsensus pajak internasional kian terpecah dengan semakin banyak negara mengambil langkah unilateral. Misalnya, reformasi pajak AS yang melahirkan kebijakan GILTI dan BEAT seolah menjadi ‘model dunia’ yang harus diikuti, padahal kebijakan itu menurutnya tidak prinsipal dan berkelanjutan.
Ironisnya, kemunculan proyek BEPS yang awalnya ditujukan untuk meningkatkan aksi multilateral yang terkoordinasi, justru menggiring banyak negara untuk melakukan aksi unilateral dan memang itulah yang terjadi saat ini, contohnya dalam kebijakan pajak digital. Brian mengatakan butuh waktu lama untuk menciptakan konsensus pajak internasional baru yang stabil.
Profesor dari Universitas Quebec, Brigitte Alepin, memaparkan area-area pajak apa saja yang masih menjadi persoalan dan akhirnya menimbulkan ‘krisis fiskal’ saat ini. Area-area tersebut di antaranya ketidakseimbangan kompetisi pajak (tax competition), kedaulatan pajak dan kebutuhan kerja sama global, dan kurang efektifnya pemajakan orang-orang kaya (HNWI).
Panelis dari Otoritas Pajak Selandia Baru (Inland Revenue), Cath Atkins, memberikan paparan mengenai bagaimana Pemerintah Selandia Baru mengubah cara kerja dalam mendesain kebijakan pajak. Salah satunya adalah perubahan dari sistem konsultasi ke co-producing. Dalam mendesain kebijakan pajak, Pemerintah Selandia Baru tidak hanya mendengarkan keluhan dari wajib pajak atau pengusaha, namun ikut mengajak mereka berembuk dan menyusun kebijakan tersebut, sehingga kebijakan itu tidak menimbulkan penolakan dan dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
Selain itu, dalam penyusunannya, Pemerintah Selandia Baru juga ikut melibatkan berbagai pakar dengan kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda. Menurutnya, mendesain kebijakan pajak dengan mendefinisikan masalah secara dini dan berkelanjutan perlu dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara dalam menavigasi arah kebijakan pajak ke depan.
Direktur dari Intuit, Rob Burlison, menyampaikan peran penting teknologi dalam masa depan sistem pajak. Menurutnya, digitalisasi sistem pajak akan menutup tax gap dan mengurangi beban pengusaha dalam melakukan kewajiban pajaknya. Dengan kata lain, aspek teknologi dalam sistem administrasi pajak pada akhirnya tidak bisa diabaikan.*