Galih Ardin,
GOOGLE, Temasek, Bain & Co (2021) melaporkan nilai ekonomi digital di Indonesia pada 2021 mencapai US$70 juta atau naik 49% dibandingkan dengan tahun sebelumnya senilai U$47 juta.
Tidak tanggung-tanggung, nilai ekonomi digital di Indonesia pada 2025 diprediksi mencapai US$146 juta atau tumbuh 20% per tahun. Dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan dan nilai ekonimi digital di Indonesia memang termasuk salah satu yang terbesar.
Malaysia misalnya, pada 2021 mencatatkan senilai US$21 juta dan diprediksi naik menjadi US$35 juta pada 2025. Kemudian, ekonomi digital di Singapura pada 2021 senilai US$15 juta dan diestimasi tumbuh menjadi US$27 juta pada 2025.
Menurut Google et al (2022), tingginya nilai digital economy di Indonesia dikarenakan pada masa pandemi, banyak pelaku usaha yang mengubah strategi penjualan mereka. Mereka melakukan digitalisasi dengan menggunakan platform online marketplace.
Bahkan, jumlah pelaku usaha yang menggunakan platform e-commerce pada 2021 naik sebesar 18 kali lipat dibandingkan dengan posisi pada 2017. Fakta ini didukung survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan 50,7% pelaku usaha memulai kegiatan melalui platform e-commerce pada 2021.
Adanya perubahan dalam pola transaksi konsumen dan peningkatan jumlah pelaku usaha pengguna platform e-commerce tersebut, secara logika, akan membawa dampak positif terhadap penerimaan pajak.
Namun demikian, jumlah transaksi ekonomi digital yang begitu masif dan potensi shadow economy yang tinggi atas transaksi digital ternyata membawa tantangan tersendiri bagi fiskus. Tantangan itu terutama dalam aspek pengawasan kepatuhan perpajakan pada masa pandemi.
Hal tersebut didukung dengan penelitian Hadzieva (2016) yang menyebut selain membawa keuntungan, digitalisasi ekonomi membawa tantangan dalam bidang perpajakan. Tantangan itu terutama dalam hal nexus, data, dan karakteristik sektor digital.
Oleh karena itulah, pada masa mendatang, diperlukan suatu alat yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Alat tersebut diharapkan mampu membantu para fiskus dalam mengawasi kepatuhan perpajakan.
Menurut Boucher (2020), AI mengacu pada sebuah sistem yang mampu menunjukkan kecerdasan perilaku dengan sejumlah analisis terhadap lingkungan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut Drakos, Shin & Pande (2002), artificial neural network (ANN) adalah proses pengenalan bentuk algoritma dengan cara menghubungan antara sebab dan akibat.
PADA dasarnya, telah ada beberapa penelitian yang membahas mengenai aplikasi kecerdasan buatan dalam aspek perpajakan. Zhou (2019) misalnya, yang menyebut sistem kecerdasan buatan dalam bidang perpajakan membantu menyelesaikan masalah perpajakan.
Tidak hanya itu, Zhou juga menyebut sistem kecerdasan buatan dapat mengidentifikasi risiko yang kemungkinan muncul. AI juga dinilai membantu membuat standardisasi perilaku perpajakan, mengurangi keputusan subjektif, serta mengurangi biaya administratif.
Penelitian lain yang dilakukan Raikov (2019) menunjukkan kecerdasan buatan dapat digunakan untuk mendeteksi penghindaran pajak. Hal ini dilakukan dengan pembuatan sistem pengambilan keputusan yang secara otomatis memprediksi penghindaran pajak dengan menggunakan metode neural networks dan cognitive modelling.
Beberapa negara lain telah terlebih dahulu menerapkan kecerdasan buatan dalam bidang perpajakan. Jepang misalnya, telah menggunakan sistem Kokuzei Sogo Kanri (KSK) dalam administrasi perpajakan sejak 1995.
Sistem tersebut diklaim mampu mengambil keputusan terhadap wajib pajak mana saja yang akan dilakukan pemeriksaan berdasarkan pada beberapa parameter yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Sistem tersebut juga dirancang untuk menyeragamkan manajemen informasi perpajakan atas seluruh jenis pajak di seluruh wilayah Jepang (Araki & Claus, 2014).
Di Indonesia sendiri tidak banyak penelitian yang membahas mengenai penggunaan kecerdasan buatan dalam bidang perpajakan. Salah satu kajian yang membahas hal tersebut dilakukan oleh Rosid, Ardin dan Sanjaya (2021).
Hasil kajian itu menyebut keikutsertaan pelaku usaha dalam memanfaatkan insentif perpajakan pada masa pandemi dapat diprediksi dengan metode ANN. Terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan insentif pajak pada masa pandemi, yaitu jumlah pekerja, omzet tahunan, dan pangsa pasar utama.
Contoh lain, penggunaan AI dalam memprediksi putusan Pengadilan Pajak. Menurut Staf Ahli Menkeu Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi, hasil putusan Pengadilan Pajak dapat diprediksi dengan menggunakan data perilaku wajib pajak saat berperkara di Pengadilan Pajak. Menurut dia, tingkat akurasinya mencapai 94%.
Berdasarkan pada hal tersebut, kita dapat melihat sistem kecerdasan buatan sangat mungkin diterapkan dalam pengawasan perpajakan, terutama pada masa pandemi yang mengharuskan adanya pembatasan interaksi sosial antara fiskus dan wajib pajak.
Sistem tersebut sangat berguna untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan pajak tanpa mengurangi kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Sistem ini juga diharapkan dapat mengurangi compliance cost yang pada akhirnya akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, sistem ini juga dapat meminimalisasi human error dan mengurangi administrative cost.
Salah satu contoh pengaplikasian terkait dengan pengawasan perpajakan adalah penggunaan artificial intelligence dalam prediksi kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan SPT. Dengan menggunakan beberapa parameter seperti riwayat pelaporan, riwayat pemotongan/pemungutan, riwayat pembayaran pajak, serta data transaksi ILAP maka fiskus dapat memprediksi kepatuhan penyampaian SPT wajib pajak dengan metode ANN.
Contoh lain, penggunaan AI untuk memprediksi penerimaan pajak. Dengan menggunakan beberapa variabel data panel seperti riwayat setoran PPh Pasal 21, riwayat jumlah pegawai, tingkat pertumbuhan ekonomi, serta tingkat pengangguran maka setoran PPh Pasal 21 sangat mungkin untuk diprediksi.
Selain itu, data-data seperti pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto (PDB), riwayat penerimaan PPN, dan riwayat jumlah wajib pajak per sektor juga dapat digunakan sebagai variabel dalam memprediksi penerimaan PPN.
Namun demikian, diperlukan suatu penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan dan membangun sistem kecerdasan buatan dalam pengawasan kepatuhan perpajakan, terutama terkait dengan prediksi behavior wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya pada masa pandemi.
Pada akhirnya, kita berharap penggunaan AI dalam pengawasan wajib pajak tidak hanya akan memberikan manfaat dan dampak positif bagi penerimaan pajak, tetapi juga memberikan manfaat dan kemudahan bagi wajib pajak.