Banon Keke Irnowo,
KINI, kerja sama internasional merupakan cara yang efektif bagi negara-negara di dunia untuk menjaga kedaulatan atas basis pajak masing-masing negara. Kerja sama ini juga digunakan untuk menjamin alokasi hak pemajakan antarnegara mitra berjalan dengan adil.
Kerja sama internasional dalam masalah perpajakan lazimnya terdiri atas berbagai bentuk, tidak melulu Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Salah satu bentuk kerja sama itu adalah Bantuan Penagihan Pajak Lintas Negara (Assistance in Tax Collection).
Hingga 2025, jumlah ultra high net worth individuals (UHNWI) Indonesia diproyeksi akan bertambah sekitar 67%. UNHWI adalah orang-orang yang memiliki kekayaan lebih dari US$30 juta atau setara dengan Rp420 miliar.
Laporan tersebut dirilis dalam Wealth Report 2021 oleh Knight Frank, sebuah lembaga konsultan properti internasional. Sementara itu, angka pertumbuhan tersebut mengungguli India (63%), Cina (45%), Rusia (29%), dan Amerika Serikat (24%).
Berdasarkan pada laporan tersebut, tidak menutup kemungkinan penanggung pajak Indonesia memiliki banyak aset yang tersebar di seluruh dunia. Namun, otoritas pajak biasanya tidak mampu melampaui batas teritorial negara apabila melakukan penagihan aktif atas tunggakan pajak di luar negeri.
Di negara-negara yang menganut common law sekalipun bahkan berlaku prinsip bahwa sebuah negara tidak akan ikut campur melakukan penagihan untuk negara lain. Prinsip ini disebut sebagai revenue rule. Namun, belakangan, prinsip itu ditentang mengingat luasnya mobilitas wajib pajak dan besarnya arus modal yang saat ini.
Sejatinya, telah tersedia perjanjian bilateral atau multilateral sebagai payung hukum mengenai permasalahan ini. Telah ada Assistance in Tax Collection yang memungkinkan sebuah negara dapat melakukan penagihan di luar teritorialnya dengan dibantu negara tempat aset tersebut berada.
Banyak negara berharap terhadap platform tersebut. Assistance in Tax Collection dianggap memiliki deterent effect yang mumpuni terhadap perilaku membayar wajib pajak.
DARI aspek historis, Assistance in Tax Collection telah ada sejak dahulu. Namun, kerja sama ini kebanyakan dipakai negara-negara yang sekufu dan memiliki latar belakang hubungan diplomatik yang kuat baik secara ekonomi maupun politik.
Tentu saja hal ini diikat dan dilindungi perjanjian bilateral atau multilateral. Contohnya, Benelux Mutual Assistance Treaty pada 1952 atau Nordic Convention on Mutual Assistance in Tax Matters pada 1972 yang berlaku pada negara-negara Skandinavia.
Pada saat itu, Uni Eropa saat menjadi yang terdepan dalam isu ini. Secara ekonomi dan politik, mereka telah didukung hubungan diplomatik yang kuat untuk melakukan konvergensi berbagai aturan, tidak hanya perpajakan.
Namun, sejak saat itu, entah mengapa basis bilateral yang mengatur hal ini justru dibatasi. OECD Model Convention bahkan tidak lagi memasukan pengaturan hal ini dalam pedomannya hingga 2003. EU Directive pada 1976 juga membatasi bantuan penagihan hanya pada jenis pungutan, bea dan pajak tertentu selain PPN atau pajak langsung lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, pandangan negara maju berubah. Laporan OECD pada 1998 tentang Harmful Tax Competition an Emerging Global Issue mengawalinya dengan ditemukannya isu peningkatan pengelakan pajak yang akan terjadi apabila ada negara yang tidak menerapkan bantuan penagihan.
Laporan tersebut menyarankan agar setiap negara menengok kembali aturan domestiknya. Ya, tersedia atau tidaknya pengaturan hal ini. Secara tidak langsung, ketika ada kekosongan hukum bantuan penagihan di suatu negara, bisa diduga negara tersebut rentan bersarang aset para penunggak pajak. Kondisi ini tentu menjadi preseden buruk dalam menjalin hubungan diplomatik kepada negara lain.
Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, OECD Council menyetujui untuk memasukkan kembali Assistance in Collection pada Pasal 27 Model P3B mereka pada 2003 hingga sekarang. Selain itu, untuk mengatalisasi perubahan perjanjian bilateral yang dikenal memakan waktu dalam proses negosiasinya, diinisiasi pula perjanjian multilateral terkait Assistance in Collection yang dapat langsung mengikat banyak negara.
Adalah The Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters yang menjadi kendaraan untuk mempercepat legal formalitas dalam implementasi bantuan kerja sama di bidang perpajakan secara multilateral. Perjanjian ini diibaratkan sebagai kunci pembuka terbukanya berbagai kerja sama perpajakan, termasuk Assistance in Tax Collection dan Exchange of Information.
Indonesia sendiri telah progresif dengan implementasi bantuan penagihan ini. Kita telah memiliki aturan domestik pelaksanaan yang lebih terperinci mengenai Assistance in Collection sampai pada level peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak yaitu PMK 89/2020 dan PER-42/PJ/2011.
Pada era globalisasi saat ini, cara-cara tradisional untuk melakukan penagihan harusnya diubah. Perubahan ini, kita ketahui bersama, merupakan konsekuensi dari perkembangan perdagangan melalui sistem elektronik. Pertimbangannya adalah kemampuan untuk memajaki PPN atas transaksi tersebut, berikut penagihannya.
Di hulu, Indonesia berani menerapkan pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik terhadap subjek pajak luar negeri. Di hilir, Indonesia perlu pengaturan yang adil dan pasti untuk mengatur pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan atas subjek pajak yang fitrahnya ada diluar negeri tersebut.
Bayangkan jika penunggak pajak ini yang memang keberadaannya ada di luar negeri dan harus ditagihkan pajaknya. Tentu saja kita membutuhkan negara lain untuk memulihkan aset di luar negeri kembali ke Indonesia. Siapkah kita?