OPINI PAJAK

Meminimalkan Ekonomi Tunai di Indonesia dengan Kebijakan Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 06 Agustus 2024 | 15.22 WIB
ddtc-loaderMeminimalkan Ekonomi Tunai di Indonesia dengan Kebijakan Pajak

Rizmy Otlani Novastria,

Pegawai Ditjen Pajak

PEREKONOMIAN Indonesia dibebani oleh ekonomi tunai (cash economy) yang mencapai sekitar 8,3% hingga 10% dari PDB (PPATK, 2024). Dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia senilai Rp20.892,4 triliun pada 2023 (BPS, 2023), ekonomi tunai menyumbang sekitar Rp2.089,2 triliun.

Dalam berbagai diskursus, istilah ekonomi bayangan dan ekonomi tunai sering digunakan secara bergantian. Hal ini dikarenakan kegiatan dalam ekonomi bayangan (shadow economy) sering kali melibatkan transaksi tunai untuk mencegah pelacakan aliran uang.

Bank Indonesia (BI) belum memperkirakan sirkulasi uang tunai dalam kegiatan ekonomi bayangan. Namun, jumlah uang tunai tetap tinggi. Sirkulasi uang tunai mencapai Rp1.026,5 triliun pada Desember 2022 atau naik 6,95% secara tahunan.

Data tersebut menunjukkan pola umum dalam ekonomi bayangan karena uang tunai sulit untuk dilacak. Penelitian ekonomi juga telah mengungkapkan adanya potensi kerugian pajak yang disebabkan oleh ekonomi tunai.

Dengan menggabungkan indikator ekonomi makro seperti PDB, pengeluaran, konsumsi listrik, permintaan mata uang, dan model statistik, besaran serta dampak ekonomi bayangan dapat diproyeksi.

Samuda (2016) dalam risetnya memperkirakan potensi kerugian pajak akibat kegiatan ekonomi bayangan senilai Rp11,17 triliun. Azwar dan Mulyawan (2017) dalam sebuah riset ekonomi makro menyebut potensi kerugian pajak senilai 0,19% dari PDB atau setara dengan Rp39,69 triliun pada 2023.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri belum mengatur ekonomi tunai untuk meminimalisasi kerugian pajak. Selain itu, DPR juga belum mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang membatasi transaksi secara tunai maksimum Rp100 juta.

Meskipun bank telah menerapkan prinsip Know Your Customer dalam UU 7/1992 tentang Perbankan, data tersebut belum diinformasikan kepada DJP. Prinsip mengenal nasabah tersebut merupakan prinsip kehati-hatian dalam pelaporan transaksi mencurigakan.

Bentuk ekonomi tunai juga dapat diwujudkan melalui transportasi uang tunai dari negara lain. Meskipun UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mewajibkan setiap orang untuk melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) jika membawa uang tunai sekurang-kurangnya Rp100 juta, pelanggaran masih marak terjadi.

Sebagai contoh, DJBC bersama PPATK (2022) mengungkapkan bahwa pengangkutan uang tunai ilegal yang tercatat melalui aplikasi Passenger Risk Management (PRM) mencapai Rp2,25 triliun. Salah satu kasus yang mencuat adalah penumpang yang masuk dan keluar negeri dengan membawa koper berisi uang tunai senilai Rp66 miliar per kedatangan.

Sejak 2016 hingga 2022 terdeteksi sebanyak 1.025 kasus pengangkutan uang tunai ilegal. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pengangkutan uang tunai dan alat pembayaran tunai menimbulkan risiko yang signifikan bagi kegiatan ekonomi bayangan.

Lebih lanjut, PPATK mengindikasikan bahwa 20 pedagang valuta asing berizin terbesar melakukan 964 transaksi ilegal yang tidak dilaporkan melebihi US$100.000 per transaksi. Hal tersebut melanggar Peraturan BI No. 24/7/PBI/2022.

Adapun pada 2018 dan 2019, potensi aliran uang masuk yang tidak dilaporkan masing-masing mencapai Rp12 triliun dan Rp3 triliun. Potensi aliran uang tersebut turut menimbulkan risiko terkait dengan terorisme dan ekonomi bayangan.

Saat ini, DJP belum memiliki regulasi khusus untuk ‘mengekang’ penggunaan uang tunai dalam ekonomi gelap. Salah satu kasus yang muncul adalah transaksi penjualan saham di luar bursa atau aset lain dalam bentuk tunai.

Situasi tersebut menyulitkan DJP untuk mengenakan pajak atas capital gain karena pembayaran nominal tidak dapat dibuktikan dengan dokumen. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pajak yang komprehensif untuk mengurangi transaksi tunai dalam ekonomi bayangan.

Melihat Korsel, Meksiko, AS, dan Australia

KOREA Selatan telah menyediakan skema Tax Incentives for Electronically Traceable Payments (TIETP) sejak 1998. Kebijakan ini menargetkan bisnis ritel tertentu sebagai penyedia kartu kredit. Dalam kebijakan tersebut, setiap pengeluaran bisnis yang melebihi ₩50.000 harus dibayar dengan kartu kredit untuk memenuhi syarat pengurangan pajak.

Skema TIETP berhasil meningkatkan tingkat kepatuhan pajak penghasilan bisnis secara signifikan. Peningkatan dari sekitar 30% pada akhir 1990-an menjadi sekitar 80% pada 2024. Tarif pajak efektif untuk individu juga menunjukkan tren kenaikan yang berkelanjutan dari 3,4% pada 1998 menjadi 6,3% pada 2013.

Total peningkatan pendapatan yang didorong oleh TIETP diperkirakan sebesar ₩3,4 triliun dengan biaya TIETP mencapai ₩1,9 triliun. Hal ini menghasilkan peningkatan pendapatan bersih sebesar ₩1,4 triliun (sekitar US$1,3 miliar) atau 4,2%.

TIETP juga berdampak positif pada redistribusi pendapatan yang ditandai dengan pengurangan koefisien gini sebesar 0,11 poin. Lebih jauh lagi, rasio penggunaan kartu kredit Korea terhadap PDB telah menjadi yang tertinggi secara global sejak 2005, yakni mencapai 49% pada 2014.

Kebijakan lain yang dapat diadopsi adalah dengan membatasi pengurangan pajak untuk transaksi tunai. Penelitian World Bank (2017) menunjukkan beberapa negara telah menerapkan pembatasan pengurangan pajak untuk transaksi tunai.

Misalnya, di Meksiko, pengeluaran perusahaan harus didukung oleh tanda terima pajak digital. Selain itu, pembayaran yang melebihi Mex$2.000 harus dilakukan secara elektronik. Selain itu, lembaga keuangan harus melaporkan setoran tunai ke rekening pembayar pajak atas jumlah yang melebihi ketentuan.

Di Amerika Serikat, penerapan Formulir 8300 ‘Laporan Pembayaran Tunai Lebih dari US$10.000 dalam Perdagangan atau Bisnis’ merupakan regulasi penting untuk mengekang praktik pencucian uang. Kebijakan ini mengharuskan pelaku bisnis untuk melaporkan transaksi tunai yang melebihi US$10.000 kepada Internal Revenue Service dan Financial Crimes Enforcement Network.

Dengan mengumpulkan dan menganalisis data tersebut, otoritas pajak memperoleh wawasan yang sangat berharga tentang aktivitas arus kas. Otoritas juga dapat menutupi operasi terlarang seperti pencucian uang, perdagangan ilegal, perdagangan narkoba, penghindaran pajak, dan pendanaan terorisme.

Persyaratan pelaporan yang ketat di Amerika Serikat tersebut mampu meningkatkan transparansi keuangan dan memperkuat pertahanan ekonomi negara terhadap aktivitas ilegal yang berkembang pesat lewat transaksi tunai yang tidak dapat dilacak.

Pada November 1996, komisioner perpajakan pada Australian Taxation Office (ATO) membentuk Cash Economy Task Force (CETF) untuk menangani ekonomi tunai yang terkait dengan ekonomi bayangan.

Melalui CETF, ATO mampu meningkatkan pendapatan pajak senilai $2,6 miliar selama 3 tahun pertama. Strategi implementasi tersebut menggabungkan beberapa rekomendasi gugus tugas melalui reformasi pajak. Strategi tersebut berfokus pada kemitraan masyarakat, pemahaman perilaku wajib pajak, dan penelitian tentang isu ekonomi tunai.

Dengan menerapkan langkah-langkah di atas dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan terkait, ekonomi tunai diharapkan dapat dikurangi secara signifikan. Ditambah dengan peningkatan edukasi pajak dan kesadaran publik, upaya tersebut dapat membantu meminimalkan kerugian pajak yang disebabkan oleh ekonomi bayangan dan meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia.

* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.