Rinaldi Adam Firdaus,
PERKENALKAN, saya Juwita. Saya merupakan staf keuangan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum untuk perusahaan lokal dan baru didirikan pada 2022. Sebagai informasi, kami menggunakan tahun buku Januari – Desember. Adapun omzet (peredaran bruto) perusahaan kami secara kumulatif sepanjang 2023 sudah melampaui Rp4,8 miliar pada November 2023.
Belakangan ini, kami baru mendapatkan informasi bahwa perusahaan kami perlu lapor ke kantor pajak untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Berlandaskan informasi tersebut, perusahaan kami berinisiatif untuk segera melaporkan diri agar dapat dikukuhkan sebagai PKP. Hasilnya, kini kami sudah dikukuhkan sebagai PKP sejak 1 November 2024.
Pertanyaan saya, apakah langkah kami mengukuhkan diri sebagai PKP sudah tepat? Selain itu, apakah terdapat konsekuensi yang akan perusahaan kami tanggung atas keterlambatan lapor untuk pengukuhan sebagai PKP?
Juwita, Jawa Barat.
TERIMA kasih atas pertanyaannya, Ibu Juwita. Sebelum menjawab pertanyaan Ibu, kita dapat merujuk terlebih dahulu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP). Simak ‘Apa Itu Barang Kena Pajak dan Barang Tidak Kena Pajak?’
Sesuai beleid tersebut, terdapat beberapa kegiatan yang menjadi objek pajak pertambahan nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP yang berbunyi:
“(1) Pajak Petambahan Nilai dikenakan atas:
Kemudian, sesuai Pasal 3A ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP ditegaskan bahwa bagi pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Simak pula ‘Ini Kriteria Pengusaha Kena Pajak secara Konseptual’.
Meski begitu, kewajiban tersebut dikecualikan bagi pengusaha yang masih masuk dalam kategori pengusaha kecil. Pengusaha kecil yang dimaksud merujuk pada pengusaha (orang pribadi atau badan) yang selama 1 tahun buku menyerahkan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp4,8 miliar.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai s.t.d.d Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013 (PMK 68/2010 s.t.d.d PMK 197/2013).
Berdasarkan uraian ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah untuk mendaftarkan diri sebagai PKP yang dilakukan oleh perusahaan Ibu sudah tepat. Hal ini disebabkan karena perusahaan Ibu melakukan kegiatan yang merupakan objek PPN yaitu penyerahan BKP di dalam daerah pabean. Selain itu, perusahaan Ibu juga sudah tidak termasuk dalam kategori pengusaha kecil yang dikecualikan dari kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP. ‘Apa Itu Kawasan Pabean?
Terkait dengan pertanyaan Ibu selanjutnya, dapat diketahui bahwa terdapat konsekuensi yang akan ditanggung oleh perusahaan Ibu atas keterlambatan untuk dikukuhkan sebagai PKP. Perlu diketahui, batas akhir kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lambat akhir tahun buku saat jumlah peredaran bruto melebihi Rp4,8 miliar.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 164 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PMK 164/2023).
Maka dalam konteks usaha Ibu, batas akhir kewajiban lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP seharusnya dilaporkan paling lama 31 Desember 2023 dan mulai menjalankan kewajiban sebagai PKP untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang sejak 1 Januari 2024. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) PMK 164/2023.
Namun, karena perusahaan Ibu baru melaporkan untuk dikukuhkan sebagai PKP setelah 31 Desember 2023. Sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf a PMK 164/2023, perusahaan Ibu sudah wajib menjalankan kewajiban sebagai PKP untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang mulai masa pajak dikukuhkannya sebagai PKP dalam hal ini sejak 1 November 2024 hingga seterusnya.
Adapun kewajiban perusahaan Ibu sebagai PKP pada masa pajak Januari hingga Oktober 2024 tetap harus dilakukan apabila terdapat PPN yang seharusnya dipungut. Perlu diingat bahwa berdasarkan ketentuan saat ini e-faktur wajib diunggah (upload) dan mendapatkan persetujuan dari DJP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur. ‘Simak Lagi Contoh Implementasi Aturan Deadline Upload Faktur Pajak’
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak s.t.d.d Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 11/PJ/2022 (PER-03/2022 s.t.d.d PER-11/2022).
Dengan demikian, konsekuensi yang akan perusahaan Ibu tanggung yaitu adanya potensi untuk diterbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak oleh DJP untuk masa pajak Januari hingga Oktober 2024 jika di masa pajak tersebut terdapat PPN yang seharusnya dipungut. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat (4) PMK 164/2023.
Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected]. (sap)