THE right to dissent is the essence of democracy (Carter, 1953).
Dalam sistem peradilan di Indonesia, negara memberikan kebebasan secara bertanggung jawab kepada hakim, yakni kebebasan menerapkan hukum sesuai rasa keadilan masyarakat, kebebasan mengadili, kebebasan dari campur tangan pihak luar, kebebasan berekspresi dalam rangka pengembangan hukum praktis, dan kebebasan memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.
Berlakunya dissenting opinion dalam sistem peradilan Indonesia telah dijamin melalui Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan dalam hal tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion) wajib dimuat dalam putusan.
Ketika melakukan dissenting opinion, hakim tersebut berani untuk melepaskan diri dari ancaman error in reasoning serta tidak ragu untuk mengekspresikan pandangannya, filosofinya, dan keyakinannya secara pribadi.
Dengan demikian, dissenting opinion yang dilakukan secara kritis dan penuh tanggung jawab dipercaya merupakan ‘resep’ yang tepat menuju sistem peradilan yang sehat sebagaimana dinyatakan Hakim Agung Jesse W. Carter (1953).
The law is not an exact science. Suatu kelompok yang terdiri dari tiga, lima, tujuh, atau sembilan orang dengan latar belakang, keyakinan, filosofi sosial, ekonomi, dan politik berbeda tidak dapat diharapkan untuk berpikir dan berperilaku serupa.
Perbedaan-perbedaan tersebut yang pada akhirnya justru mampu menjaga keseimbangan yang dibutuhkan dalam sistem hukum, yaitu stabilitas dalam hukum dan evolusi prinsip-prinsip hukum agar sesuai dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi yang berkembang di dalam masyarakat.
Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak berdampak pada hasil putusan, dissenting opinion tetap dapat menjadi basis bagi penajaman dan perubahan hukum ataupun putusan pada masa mendatang (Hogg dan Amarnath, 2017).
Selain itu, dissenting opinion juga dapat memberikan peluang atau encouragement bagi pihak yang ditolak permohonannya untuk mengajukan banding atau kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi.
Transfer Pricing
DIADOPSINYA dissenting opinion dalam suatu kasus sebagai pendapat mayoritas kasus berikutnya ternyata dimungkinkan terjadi. Hal tersebut telah dibuktikan dalam sengketa LG Electronics India Pvt. Ltd. v Assistant Commissioner of Income Tax (2013). Sengketa itu berperan penting dalam perkembangan transfer pricing (khususnya marketing intangibles) baik di India maupun di dunia.
Kasus bermula dari L.G. Electronics Inc (LG Korea), sebuah perusahaan Korea, mendirikan anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki di India, L.G. Electronics India Pvt. Ltd (LG India). LG Korea memberikan bantuan teknis berupa technical know-how kepada LG India dengan imbalan royalti sebesar 1%. Di sisi lain, LG Korea juga mengizinkan LG India menggunakan nama dan merek dagangnya untuk produk yang diproduksi di India dengan tidak mengenakan royalti.
Otoritas pajak India kemudian berpendapat biaya advertising, marketing, and promotion (biaya AMP) yang dikeluarkan LG India sebesar 3,85% dari penjualannya. Persentase tersebut lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan perusahaan pembanding (Videocon & Whirlpool). Oleh karena itu, LG India dianggap telah mempromosikan merek LG (yang bukan miliknya) di India sehingga seharusnya mendapatkan remunerasi dari LG Korea (pemilik merek).
LG India kemudian berpendapat otoritas pajak India tidak berwenang untuk melakukan koreksi atas transaksi internasional yang tidak terjadi, seperti transaksi remunerasi dari LG Korea atas aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh LG India.
Mayoritas hakim pengadilan pajak India kemudian membantah pendapat LG India dengan pernyataan bahwa biaya AMP yang timbul dapat memenuhi syarat sebagai transaksi internasional jika melebihi biaya AMP yang dikeluarkan oleh perusahaan pembanding.
Faktanya, berdasarkan pada bright-line test yang dilakukan otoritas pajak India, biaya AMP LG India terbukti sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pembanding. Dengan demikian, seharusnya LG India menerima remunerasi dari LG Korea.
Salah satu dari 3 majelis hakim kemudian menyampaikan dissenting opinion-nya dalam kasus tersebut dengan menyatakan keberadaan transaksi internasional harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai fakta.
Tidak ada ruang untuk berasumsi atau beranggapan bahwa telah terjadi transaksi internasional dengan tidak adanya perjanjian tertulis antara kedua belah pihak. Selain itu, beban pembuktian untuk membuktikan bahwa biaya AMP yang dikeluarkan LG India memberikan kontribusi yang nyata terhadap merek LG terletak pada otoritas pajak.
Selain itu, hakim dengan pendapat berbeda tersebut juga menyatakan manfaat dari biaya AMP hanya bersifat insidental bagi LG Korea. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan OECD Guidelines on Intra-Group Service, atas incidental benefit tidak diwajibkan untuk diberikan kompensasi.
Dissenting opinion tersebut ternyata mendapatkan respons positif, bahkan dipertimbangkan dan diterapkan oleh mayoritas hakim pengadilan pajak India dalam kasus-kasus marketing intangibles berikutnya.
Salah satunya adalah putusan Bausch & Lomb Eyecare India Pvt. Ltd vs The Additional Commissioner of Income Tax (2014) yang menyatakan “In the absence of any machinery provision, bringing an imagined transaction to tax is not possible”. Artinya, dengan tidak adanya peraturan, memajaki transaksi yang tidak pernah terjadi menjadi suatu hal yang tidak mungkin.
Mayoritas hakim dalam Sony Ericsson Mobile Communications India Pvt. Ltd. vs Commissioner of Income Tax (2015) kemudian berpendapat mayoritas hakim dalam putusan LG India telah keliru ketika menyatakan hasil analisis bright-line test dapat digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya suatu transaksi internasional.
Serupa dengan dua putusan sebelumnya, mayoritas hakim dalam putusan Honda Siel Power Products Limited vs Deputy Commissioner Of Income Tax on 23 December (2015) menyatakan otoritas pajak India belum dapat menunjukkan terdapat transaksi internasional yang melibatkan pihak afiliasi asing terkait biaya AMP.
Berdasarkan pada putusan-putusan di atas, dapat disimpulkan dalam sengketa marketing intangibles, pembuktian atas eksistensi suatu transaksi internasional merupakan langkah fundamental sebelum pembahasan hasil pengujian bright-line test.
Cita-Cita Hukum
DISSENTING opinion tidak hanya meneguhkan independensi hakim, tetapi juga berperan penting dalam pengembangan hukum. Namun, perdebatan yang sering kali muncul adalah cara seorang hakim menemukan dan mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum di dalam putusannya.
Keadilan, sebagai tujuan tertinggi hukum, merupakan salah satu pondasi untuk mencapai sistem hukum yang valid dan memiliki legitimasi di tengah masyarakatnya (Hongler, 2019). Saat ini, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) pada masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).
Sementara kepastian hukum adalah kepastian mengenai hukum atau nilai-nilai apa yang hidup di tengah masyarakat (Asnawi, 2014) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kepastian hukum dimaknai lebih dari sekadar kepastian undang-undang karena hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Berada di antara keadilan dan kepastian hukum, kemanfaatan hukum adalah ketika seorang hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual, tetapi putusan tersebut dapat dieksekusi secara nyata. Dengan demikian, putusan itu dapat memberikan kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan masyarakat pada umumnya.
Dissenting opinion tidak dibuat berdasarkan pada suatu pandangan dari keputusan mayoritas, tetapi pemikiran yang mendalam dari setiap hakimnya. Dengan demikian, dissenting opinion memberikan triangulasi yang lebih ketat dari hukum itu sendiri serta memastikan putusan telah mewujudkan suatu keadilan, kepastian, kemanfaatan, akurasi, kualitas yuridis, dan representasi sistem peradilan yang demokratis. (Firdaus, et al., 2020)
Dalam pandangan penulis, karena hukum adalah sistem yang terus bergerak (law is a system in motion) maka penafsiran hukum harus dinamis dan berubah seiring dengan waktu. Dissenting opinion secara tidak langsung berkontribusi untuk mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum karena dapat memberikan suatu gambaran ke mana hukum itu akan mengarah ke depannya.
Meskipun kerap dianggap dapat melemahkan posisi mayoritas hakim dimata publik, dissenting opinion yang dilakukan hakim yang kritis, independen, dan bertanggung jawab justru dipercaya dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas peradilan serta berperan penting dalam perkembangan aturan hukum pada masa mendatang.
Kebebasan untuk melakukan dissenting opinion (didukung pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan agar memenuhi syarat duty to give reasons dan standar pembuktian) diharapkan dapat menjadi sarana bagi para hakim untuk lebih mengekspresikan integritas dan kapasitas intelektualnya kepada masyarakat umum.
Kiranya cukup beralasan jika dikatakan putusan hakim yang benar dan adil adalah cermin dari muara nurani dan akal budi sang hakim.