KLASTER perpajakan dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memuat empat pokok tujuan guna memperkuat perekonomian Indonesia. Keempat tujuan tersebut adalah meningkatkan pendanaan investasi, meningkatkan kepastian hukum, mendorong kepatuhan pajak sukarela, dan menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri, Simak penjelasannya di sini.
Pada dasarnya, klaster perpajakan UU Cipta Kerja adalah bagian dari RUU Omnibus Law Perpajakan yang belum masuk di dalam Perpu 1/2020, yang sekarang telah menjadi UU 2/2020. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers penjelasan UU Cipta Kerja pada 7 Oktober 2020 (DDTCNews, 2020).
Terdapat beberapa perubahan dan penambahan ketentuan perpajakan yang dimuat dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja. Salah satu yang menjadi perhatian penulis adalah terkait pengaturan ulang sanksi administratif yang tercakup dalam Bab VI Bagian Ketujuh Pasal 113 UU Cipta Kerja guna mendorong kepatuhan pajak sukarela.
Pada dasarnya, pengenaan sanksi harus memenuhi prinsip proporsionalitas (Pistone, 2019). Aspek ini dibutuhkan untuk membedakan derajat kesalahan yang dilakukan wajib pajak. Dengan demikian, sanksi yang ditetapkan proporsional dengan kesalahan yang telah dilakukan .
Darussalam (2020) menyebutkan penyesuaian berbagai sanksi maupun imbalan bunga dalam UU Cipta Kerja akan merefleksikan prinsip proporsionalitas yang turut mengurangi biaya kepatuhan sehingga mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.
Di Indonesia, sanksi administratif pajak terbagi menjadi sanksi denda, sanksi bunga, dan sanksi kenaikan. Dari ketiga jenis sanksi tersebut, perubahan yang cukup mendasar dilakukan dalam ketentuan mengenai sanksi bunga, di mana persentase fixed rate diubah menjadi flexible rate.
Flexible rate ditentukan berdasarkan suku bunga pasar ditambah dengan suatu persentase mark-up tertentu. Perubahan ketentuan sanksi ini mencerminkan prinsip proporsionalitas sehingga merupakan suatu langkah yang ideal sebagaimana dinyatakan oleh Crawford (2013). Simak penjelasannya di sini.
Kemudian, perubahan ini merefleksikan langkah serius pemerintah dalam menciptakan sistem administrasi pajak yang lebih baik. Pasalnya, besaran sanksi bunga fixed rate sebesar 2% belum pernah mengalami perubahan sejak diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan meskipun telah beberapa kali dilakukan perubahan terhadap UU KUP (Nuryadi, 2018).
Lantas, bagaimana dengan perubahan sanksi administrasi berupa denda dan kenaikan yang terdapat dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja?
Sanksi Denda
Tabel 1 Perbandingan Sanksi Denda dalam UU KUP dan Perubahan dalam UU Cipta Kerja
Dalam UU KUP, sanksi denda diterapkan atas kondisi sebagaimana tertera dalam Tabel 1 di atas. Pada nyatanya, tidak semua sanksi yang berlaku mengalami perubahan. Terkait hal ini, terdapat empat hal yang menjadi perhatian penulis sebagai berikut.
Pertama, tidak terdapat perubahan mengenai sanksi atas Surat Pemberitahuan (SPT) yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sanksi yang diterapkan masih berupa fixed amount dengan jumlah yang berbeda berdasarkan jenis SPTnya. Ketentuan serupa juga ditetapkan oleh negara-negara lain seperti Denmark, Hungaria, dan United Kingdom (Seer dan Wilms, 2015).
Kedua, penurunan sanksi untuk pengungkapan ketidakbenaran sebelum dilakukan penyidikan serta penurunan sanksi bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terkait saat pembuatan dan pengisian faktur pajak.
Terkait dengan penuruan sanksi di atas, OECD Managing and Improving Tax Compliance Guidance Note 2004 menyebutkan bahwa pemberian insentif terhadap wajib pajak dapat berdampak positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini tentu akan mendorong wajib pajak untuk melakukan pengungkapan secara sukarela (voluntary disclosure).
Ketiga, penurunan sanksi atas penghentian penyidikan tindak pidana pidana pajak. Pada dasarnya, ketentuan Pasal 44B UU KUP menjelaskan maksud dan tujuan dari pelaksanaan undang-undang perpajakan bukan untuk memidanakan wajib pajak, melainkan untuk dapat memungut pajak secara efektif dan efisien (Nuryadi, 2018). Berdasarkan hal tersebut, penurunan sanksi yang dilakukan dapat kian mendorong pemungutan pajak yang lebih efektif dan efisien.
Sanksi Kenaikan
Tabel 2 Perbandingan Sanksi Kenaikan dalam UU KUP dan Perubahan dalam UU Cipta Kerja
Terdapat dua perubahan yang dilakukan pada sanksi kenaikan dalam UU Cipta Kerja. Pertama, dihapusnya Pasal 13A UU KUP. Kedua, perubahan skema sanksi atas Pasal 8 ayat (5) UU KUP.
Pasal 13A UU KUP mengatur sanksi kenaikan atas kealpaan wajib pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, di mana kealpaan dilakukan untuk pertama kali. Namun, apabila kealpaan merupakan perbuatan setelah pertama kali, wajib pajak akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UU KUP.
Pasal 38 UU KUP menyebutkan sanksi pidana yang dikenakan merupakan denda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Penghapusan Pasal 13A UU KUP diiringi dengan perubahan Pasal 38 UU KUP, di mana sanksi yang diterapkan akan berlaku untuk seluruh kealpaan wajib pajak, baik yang dilakukan untuk pertama kali maupun tidak. Artinya, setiap tindakan kealpaan yang dilakukan wajib pajak akan dikenakan sanksi pidana.
Pasal 8 ayat (5) UU KUP menyebutkan bahwa atas pengungkapan ketidakbenaran dalam SPT yang menimbulkan pajak kurang dibayar setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum terdapat penerbitan SKP, wajib pajak dikenakan sanksi kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar. Namun, dalam UU Cipta Kerja, sanksi yang dikenakan diubah menjadi sanksi bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar.
Perubahan skema sanksi Pasal 8 ayat (5) UU KUP menunjukkan upaya pemerintah dalam menerapkan konsep time value of money. Drake dan Fabozzi (2019) menyatakan konsep time value of money mengimplikasikan bahwa nilai uang sekarang akan berbeda dengan nilai uang di masa yang akan datang, “A dollar today is not worth a dollar tomorrow or next year”. Kemudian, sebagai kompensasi atas ketidakpastian nilai tersebut, pengenaan bunga patut diterapkan.
Dalam kasus di atas, pajak yang kurang dibayar atas pengungkapan ketidakbenaran adalah jumlah penerimaan pajak negara yang tertunda sehingga bunga akan berperan sebagai kompensasi atas penundaan penerimaan tersebut. Hal ini sejalan dengan Leif Mutten yang menyatakan bahwa apabila negara mengalami kerugian dari time value of money atas tertundanya penerimaan pajak, wajib pajak seharusnya hanya dikenakan kewajiban “bunga” (Darussalam dan Danny, 2007).
Kesimpulan
Secara umum, perubahan atas sanksi administrasi pajak dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja merupakan strategi jitu yang diambil oleh pemerintah guna mendorong kepatuhan pajak sukarela. Meskipun demikian, evaluasi atas efektivitas sanksi yang masih berlaku saat ini tetap perlu dilakukan guna terciptanya sistem sanksi administrasi perpajakan yang lebih proporsional dan adil lagi.