TANGGAL 5 Oktober 2020, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU) dalam sidang paripurna. Materi UU Cipta Kerja mencakup 76 undang-undang yang terdiri atas 15 bab dan 186 pasal.
UU Cipta Kerja tersebut memiliki berbagai tujuan, antara lain menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja, penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan ekosistem investasi dan sebagainya. Secara khusus, UU Cipta Kerja bermanfaat dalam mendorong pemulihan ekonomi, mendukung transformasi ekonomi untuk menghindari middle income trap, peningkatan daya saing investasi, dan menekan ekonomi biaya tinggi.
UU ini turut mencakup klaster perpajakan sebagaimana tercantum pada Bab VI Bagian Ketujuh yang berisi 4 pasal, yaitu Pasal 111, 112, 113, dan 114. Klaster perpajakan mengatur tentang perubahan dan/atau penambahan pasal pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Penting untuk kita apresiasi bahwa diikutsertakannya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja telah memperlihatkan langkah jitu pemerintah. Setidaknya, terdapat empat hal yang dapat kita maknai.
Pertama, adanya klaster perpajakan merupakan langkah strategis sekaligus antisipatif dari pemerintah dengan adanya tekanan ekonomi akibat Covid-19. Sedari awal, pajak telah hadir untuk melawan dampak pandemi.
Melalui UU Cipta Kerja ini pemerintah telah mempersiapkan landasan strategi relaksasi di fase setelah pandemi. Pasalnya, bahkan di tengah pandemi ini mulai terdapat tren pergeseran tujuan insentif di banyak negara. Tujuannya tidak hanya mendorong likuiditas perusahaan dan rumah tangga, namun juga bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di masa depan (Sarfo, 2020).
Kita juga tidak boleh mengabaikan fakta bahwa pada fase pascakrisis keuangan global 2008, kompetisi pajak memperebutkan modal dan sumber daya manusia (SDM) unggul juga kian intens (OECD, 2018). Oleh karena itu, kehadiran klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan menjadi komponen penting bagi kestabilan ekonomi jangka menengah-panjang.
Kedua, pembenahan di area pajak merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya menciptakan iklim usaha yang mendukung penciptaan lapangan kerja. Artinya, kolaborasi setiap sektor -termasuk perpajakan- secara serentak dan komprehensif akan memiliki signifikansi yang lebih kuat dalam memperbaiki iklim usaha di Indonesia.
Tidak hanya itu, diikutsertakannya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan menciptakan sinyal bagi seluruh komponen masyarakat bahwa pemerintah ‘tidak setengah-setengah’. Dengan demikian, ekspektasi publik akan optimisme ekonomi di masa mendatang akan meningkat terutama di tengah pandemi.
Ketiga, langkah ini sejalan dengan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan (PMK 77/2020) dan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2020-2024 (KEP-389/PJ/2020), khususnya mengenai pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan. Sebagai informasi, Renstra DJP turut mencakup pengaturan atas insentif fiskal dan prosedural guna memulihkan ekonomi serta penyempurnaan peraturan di bidang fiskal yang notabene tersirat dalam UU Cipta Kerja.
Secara umum, pembenahan sebagaimana tertera pada klaster perpajakan juga akan berdampak bagi kepatuhan pajak secara sukarela. Hal ini akan berdampak positif bagi penerimaan pajak yang lebih optimal di masa yang akan datang.
Keempat, pengaturan aspek pajak yang terdapat dalam UU Cipta Kerja pada dasarnya mendukung apa yang menjadi asas dari UU Cipta Kerja, yaitu untuk kemudahan berusaha dan kepastian hukum.
Substansi Klaster Perpajakan
Pada dasarnya, klaster perpajakan yang tercakup dalam UU Cipta Kerja tidak berbeda dengan komponen yang sebelumnya akan diatur melalui Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
Dari rencana awal, terdapat dua komponen yang telah diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 sebagaimana telah diundangkan melalui UU No. 2 Tahun 2020, yaitu penurunan tarif PPh Badan dan pengenaan pajak digital. Selebihnya kemudian diatur melalui UU Cipta Kerja, sebagaimana uraian umum berikut.
Pertama, pengecualian pajak dividen dalam negeri yang diterima oleh orang pribadi. Syaratnya, dividen tersebut harus diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Klausul ini mengubah sistem pemajakan Indonesia dari sistem classical menjadi one-tier system. Dengan demikian, akan mencegah beban pajak berganda dan menurunkan tarif pajak efektif bagi investor Indonesia. Singkatnya, iklim investasi akan lebih menarik.
Kedua, adanya pengecualian atas pengenaan dividen luar negeri dengan syarat tertentu. Secara tidak langsung, terdapat pergeseran dari sistem pajak internasional Indonesia. Dari yang sebelumnya dominan ke arah worldwide menjadi semi-territorial. Aspek terpenting dari klausul ini ialah adanya persyaratan untuk membawa kembali modal ke dalam negeri yang notabene mencegah adanya dana yang diparkir di luar negeri (lock-out capital).
Ketiga, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga. Harus diakui bahwa dengan struktur tarif withholding tax yang berlaku saat ini, kegiatan pendanaan melalui pinjaman oleh investor luar negeri cenderung kurang menarik. Dengan adanya UU Cipta Kerja, tarif PPh Pasal 26 atas bunga diturunkan.
Keempat, penegasan atas pengaturan status subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN), serta adanya rezim ekspatriat. Selain memberikan kepastian hukum, klausul ini akan mendorong adanya ketersediaan SDM unggul di dalam wilayah Indonesia.
Kelima, adanya relaksasi ketentuan PPN termasuk pengkreditan pajak masukan PPN. Relaksasi dalam hal pengkreditan pajak masukan PPN secara tidak langsung akan turut mewujudkan penghormatan atas hak-hak wajib pajak. Menariknya, oleh IMF dan OECD (2017), penghormatan hak-hak wajib pajak turut mendorong kepastian dan meningkatkan investasi.
Keenam, adanya perubahan atas besaran sanksi serta aspek imbalan bunga dalam UU KUP. Penyesuaian berbagai sanksi maupun imbalan bunga akan merefleksikan aspek proporsionalitas yang pada akhirnya menciptakan kepastian hukum. Di sisi lain, aspek ini juga akan turut mengurangi biaya kepatuhan sehingga mendorong kepatuhan pajak secara sukarela.
Selain keenam aspek di atas, terdapat pengaturan atas sinkronisasi pajak daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 114 UU Cipta Kerja.
Sebagai penutup, diikutsertakannya klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja pada hakikatnya merupakan strategi yang jitu. Selain menjadi bagian tidak terpisahkan dari ekosistem investasi dalam rangka penciptaan lapangan kerja, pembenahan atas aspek pajak merefleksikan asas kepastian hukum dan kemudahan berusaha yang menjadi ruh UU Cipta Kerja. Selamat datang rezim pajak baru!